Ketika menginjak usia delapan belas tahun dan mesti mengikuti wajib militer, sebagian anak-anak muda di Israel justru membangkang dari kewajiban itu. Mereka justru membuat band hardcore-punk, tampil di gigs-gigs yang digelar di setiap kibbutz (pemukiman komunal yang diduduki Israel), dan membangun jaringan pertemanan di satu distrik dengan distrik lainnya. Bahkan sebagian dari mereka membentuk afinitas anarkis bernama Anarchists Against the Wall yang menentang imperialisme serta genosida negara mereka sendiri dan turut memperjuangkan pembebasan Palestina.
Kolektif-kolektif hardcore-punk di Israel lahir dari elan perlawanan akan invasi, represi, genosida, serta diskriminasi rasial negara mereka terhadap warga Palestina yang telah berlangsung secara sistematik dan masif. Semangat perlawanan itu tak hanya berdentam di setiap gigs akhir pekan, maupun cukup menjadi entitas auditif yang umurnya hanya berkisar dua pekan di tangga lagu radio-radio setempat.
Kendati sorot lampu panggung hanya berkutat pada figur-figur semacam Sharon Cohen, Gad Elbaz, atau Boaz Mauda; dalam posibilitas terjauhnya, suara-suara anak muda di kancah hardcore-punk Israel telah berhasil merangsek pada ruang-ruang publik yang selama ini menjadi pilar kebudayaan dan sel proxy propaganda rezim di berbagai negara. Tak hanya menjadikan musik sebagai medium bersenang-senang, namun mereka menakiknya ke hadapan wajah bengis negara yang melakukan live-stream genosida.
Jika di Washington ada kolektif Positive Force, serta komplotan hardcore-punk komunis Belanda membentuk Red Rock Collective, maka kancah hardcore-punk di Israel punya Anarchists Against the Wall (AAtW). Jonathan Pollack adalah salah satu sosok yang terlibat dalam awal mula terbentuknya afinitas anarkis di Israel yang saling berkaitan dengan kolektif hardcore-punk di sana. Kolektif AAtW yang terbentuk pada Desember 2003 itu biasa dikenal juga dengan nama Anarchists Against Fences (AAF) atau Jews Against Ghettos (JAG).
Meski kolektif ini lekat irisannya dengan komunitas musik, namun justru momen pembentukannya lahir dari aksi demonstrasi di sekitar pemukiman Mas’ha, tepatnya manakala pasukan IDF menembak Gil Na’amati, seorang paratrooper dari AAtW. Dalam aksi itu, terjadi penembakan bertubi pada massa AAtW. Salah satu massa AAtW merekam aksi itu, lantas kemudian videonya disiarkan di tiap stasiun televisi Israel. Siaran itu yang kemudian menjadi markah awal AAtW sebagai kolektif yang sangat dibenci IDF dan rezim zionis.
Kiprah AAtW dan juga simpul jejaring komunitas di kancah hardcore-punk Israel tak bisa terlepas dari Nekhei Naatza serta Dir Yassin. Dibentuk pada awal 1991 oleh Federico Gomez, kedua band itu menjadi motor kancah dalam upaya pengorganisiran AAtW. Bukan hanya menyebarkan pembangkangan kultural maupun semangat hidup straight-edge, kedua band itu pada akhirnya mengorganisir lebih banyak anak muda untuk terlibat di AAtW.
Di tahun yang sama ketika AAtW terbentuk, kancah hardcore-punk straight-edge memang tengah menunjukkan apinya di titik lain. Di Brazil, kancah hardcore-punk straight-edge mengibarkan panjinya bersama Clear Heads dkk.; di Belanda, kancah hardcore-punk straight-edge komunis semakin menyeligi tajam bersamaan dengan kemunculan Manliftingbanner; di Belgia, muncul Nation of Fire dan Blindfold; sedangkan di Portugal dan Polandia pun juga tak kalah menunjukkan geliat yang sama.
Dalam Rock in a Hard Place: Music and Mayhem in the Middle East (Zed Books. 2017), kritikus musik Orlando Crowcroft memetakan dampak musik pada remaja yang tumbuh di kibbutz Israel selama tahun 1990-an. Crowcroft juga memaparkan sejumput kisah Federico Gomez beserta keluarganya ke Israel—serta bagaimana Federico bersama saudaranya bisa melebur dengan kancah hardcore-punk Israel. Federico berasal dari keluarga keturunan Argentina yang memutuskan pindah ke Israel pada awal 1980-an bersama keluarganya. Saudaranya, Santiago Gomez turut serta pula, dan yang nantinya bermain bass juga di Nekhei Naatza, Urban Skate Fanatics, serta Smartut Kahol Lavan.
Federico dan Santiago beralih mukim ke Israel pada usia 11 tahun dari Argentina menuju sebuah kibbutz yang bernama Lehavot Habashan di Upper Galilee, dekat perbatasan dengan Lebanon dan Suriah. Di tengah kondisi kibbutz yang kala itu cukup terisolir, Federico ingat bahwa sebagian besar anak mudanya masih mendengarkan musik rock tahun 1960-an dan 1970-an seperti Pink Floyd dkk.. Manakala anak muda yang berada di pemukiman kota mulai mendengarkan The Cure dan The Smiths, ia justru mendapatkan asupan nutrisi musikalnya dari fanzine-fanzine berbahasa Spanyol, yang disirkulasikan di antara anak muda lainnya di sekitaran kibbutz. Lewat fanzine -fanzine itu, Federico dan Santiago mengenal Ramones, Sex Pistols, hingga Crass. Dari situ juga kemudian Federico dan Santiago mempunyai ide menggagas sebuah newsletter untuk dikirimkan pada kawan-kawan mereka berdua di berbagai negara.
Keterbatasan distribusi newsletter di kibbutz betul-betul tidak menjadi kendala berarti bagi Gomez bersaudara. Kendati kibbutz tempat mereka berdua bermukim adalah sebuah distrik terpencil yang jauh dari kota Haifa dan Tel Aviv—atau katakanlah, akses mobilitas mereka jauh dari pusat kota—namun mereka nekad untuk terus menulis newsletter dan menyebarkannya. Gomez bersaudara lahir dari keluarga yang sangat sadar politik.
Hal itu yang melecut Federico dan Santiago untuk menulis mulai dari kondisi sosio-kultural di kibbutz-kibbutz Israel, ketegangan politik antara Israel-Palestina yang berimbas pada banyak lini, hingga berbagai bentuk penindasan yang dilakukan oleh pasukan IDF kepada milisi Palestina. Bahkan laporan setara mata dari secret gigs hingga press release band hardcore-punk Israel yang baru merilis album pun tak luput mereka tuliskan.
Alhasil, newsletter mereka ternyata sampai pada seorang John Yates, sang pemilik label Alternative Tentacles. Dari situ kemudian newsletter mereka segera dibalas dengan buletin yang memuat puluhan band punk Inggris lainnya. Federico dan Santiago mengirim surat ke hampir setiap alamat jejaring kawan di sana, dan sebagian besar menjawab. Tak ayal, Federico dan Santiago pun dikirimi kembali sebagian besar rilisan musik, fanzine, dan bertumpuk selebaran seputar kancah.
Bentuk korespondensi itu dilakukan Gomez bersaudara hingga akhir tahun 1990-an. Seakan energi mereka tak pernah mengenal kata tandas, sudah hampir berlembar-lembar newsletter telah mereka garap. Apa yang dilakukan Gomez bersaudara berhasil membuka cakrawala dan medan distribusi yang lebih luas lagi. kancah hardcore-punk Israel pun terus berkembang dengan suplai audio, visual, dan literatur yang lebih beragam lagi dari banyak kancah hardcore-punk kota maupun negara lain.
Dalam wawancara Gabriel Kuhn bersama Federico Gomez yang termaktub di Sober Living for the Revolution: Hardcore Punk, Straight Edge, and Radical Politics (PM Press. 2010), Federico mengungkapkan bahwa awal pertemuannya dengan Jonathan Pollack maupun kolektif AAtW betul-betul murni karena musik. Yang lebih menarik adalah Gomez bersaudara dan Pollack sama-sama menyemai gaya hidup straight-edge. Tentu saja hal itu tak terbantahkan mengingat begitu besarnya pengaruh kolektif Positive Force di DC. Sulit pula untuk tidak menyebutkan Minor Threat dan Ian MacKaye sebagai katalis yang membuat Pollack dan Gomez mantap menempuh jalan itu.
Manakala Nekhei Naatza diinisiasi menjadi sebuah band, mereka mulai kebanjiran surat dari anak muda punk seantero Israel. Federico mengaku bahwa mereka mulai mendapatkan ratusan surat dari anak-anak di Israel yang haus akan informasi mengenai politik radikal dan punk. Banyak anak-anak dari kibbutz maupun kota lain di Israel yang berbondong-bondong menonton penampilan mereka di pertengahan 1990-an.
Awalnya Federico berpikir bahwa beberapa remaja-remaja itu memiliki ide yang sama seperti Nekhei Naatza atau kawan-kawan di kolektif AAtW: yakni menentang penindasan Israel terhadap Palestina, mengutuk aksi brutal pasukan IDF pada milisi Palestina, serta melawan fasisme yang begitu kentara hadir di hadapan hidung mereka. Tetapi nyatanya tidak, venue tempat mereka menghelat gigs pernah disusupi belasan intel Israel, rilisan album mereka dibakar saat gigs berlangsung, hingga berpuluh pemuda dari partai sayap kanan pernah melempari para personil Nekhei Naatza setelah tampil di sebuah studio show.
Bukan Federico Gomez namanya jika kehabisan akal. Federico mulai mengajak Useless ID dalam rangkaian tur Nekhei Naatza dari Tel Aviv hingga beberapa venue di Haifa. Termasuk dua gigs di salah satu tempat paling legendaris di Israel, yakni Roxane, yang mampu menampung lebih dari 1.000 orang, tempat Napalm Death, Biohazard, dan Radiohead pernah menggelar konser. Taktik itu ditempuh mengingat mayoritas anak muda apolitis di kancah musik Israel tengah begitu gandrung dengan Useless ID. Skate punk dan segala ornamennya adalah hal seksi bagi mereka.
Sebagai salah satu siasat pengorganisiran, mereka menyeret massa dari Useless ID itu untuk lantas dikenalkan pada apa yang tengah diperjuangkan kolektif AAtW. Awalnya anak-anak muda itu merasa aneh saat mendapati potongan tiket gigs bergambar kakek-kakek bangkotan serta didominasi oleh logo bendera merah hitam. Ada yang terheran-heran pula saat mendapati fanzine gratis dari AAtW yang berisi terjemahan dari tulisan-tulisannya Bakunin. Hingga tak sedikit pula yang kegirangan kala pulang menenteng novel Orwell sebagai cendera mata dari gigs tur Nekhei Naatza.
Salah satu fakta menarik dari Nekhei Naatza adalah dua dari tujuh anggota band, pernah mengikuti wajib militer Israel sebagai upaya spionase. Ishay, salah satu personil yang kala itu masuk akademi wajib militer Israel, pernah diselidiki oleh aparat intelijen negara, karena ia menulis sebuah fanzine yang berisi tentang kritik atas kebijakan politik-militer Israel. Tak berhenti di situ, Ishay mendistribusikannya pada siswa akademi wajib militer lain sebagai metode pengorganisiran untuk nantinya diajak bergabung dengan AAtW.
Kondisi objektif di Israel kala itu, khususnya yang telah memutuskan untuk masuk akademi wajib militer, pantang untuk keluar. Karena hukuman penjara telah menanti mereka apabila keluar di ketika program wajib militer tengah berlangsung. Kesempatan itu dimanfaatkan Ishay dan seorang kawan Nekhei Naatza lain untuk menginfiltrasi siswa akademi wajib militer, serta mengenalkan mereka pada wacana anarkisme yang diemban oleh AAtW.
Kolektif AAtW betul-betul mempunyai peran yang signifikan bagi gerakan di komunitas musik hardcore-punk negara lain. Salah satu yang paling dipengaruhi oleh AAtW adalah kancah hardcore-punk straight-edge sayap kiri Umea, Swedia, di bawah panji Refused, Abinanda, serta Doughnuts. kancah hardcore-punk Umea itu mulai memperlihatkan perkembangan luar biasanya manakala memasuki tahun 1998, empat tahun pasca mulai dibentuknya kancah itu.
Dukungan dan solidaritas antar jejaring itu semakin terlihat manakala Itay Levinsky, salah satu massa aksi AAtW yang berdemonstrasi menentang IDF di seputar pemukiman Kharbatha pada 12 Maret 2004, tertembak oleh peluru karet di bagian mata. Yang pada akhirnya tembakan itu membuat Itay buta. Atau pada saat Jonathan Pollack tertembak di bagian kepala oleh selongsong M16 manakala AAtW berdemonstrasi di West Bank, tepatnya di pemukiman Bil’in, lagi-lagi kala menghadapi bala tentara IDF.
Solidaritas untuk Itay dan Pollack berhamburan dari banyak kancah hardcore-punk negara lain. Mulai dari gigs dukungan solidaritas di Umea untuk kawan AAtW dihelat oleh Dennis Lyxzen dkk., hingga kecaman terhadap IDF dari label hardcore-punk kiri, Crucial Response Records. Dari tahun ke tahun, nama Jonathan Pollack dan kolektif AAtW-nya semakin dikenal lingkar kawan di kancah hardcore-punk lain.
Anak dari aktor Yossi Pollack dan seorang ibu bernama Tami yang berprofesi sebagai seorang psikiater ini, terus merajut simpul kawanan di kantung komunitas hardcore-punk Israel lewat kerja-kerja pengorganisiran yang ditempuh bersama kawan-kawan AAtW lainnya. Seakan menolak mati menjadi setangkup karkas di hadapan meriam IDF, kawan-kawan yang tergabung di kolektif AAtW pun kian hari kian berlipat ganda. Dalam skalanya yang paling luas, pada beberapa aksi di West Bank, mereka menyerukan untuk terus mengamplifikasi Intifada.
Simbol resistensi dari AAtW dan segenap pelaku kancah hardcore-punknya menjadi begitu penting. Ia tak dicipta semata oleh intensi heroisme, melainkan semangat kawanan yang menolak bungkam di hadapan penindasan. Seperti halnya yang dilakukan Rachel Corrie saat ia memutuskan untuk berdiri menghadap buldozer IDF. Ia tak punya kekuatan magis dan politik untuk menghentikan raksasa bengis itu, dan ia tahu nyawanya tak berarti di hadapan pion kekuasaan Israel, tapi ia tetap berdiri menantangnya. AAtW pun meyakini bahwa simbolitas perjuangan sekecil apapun, memuat pesan mendalam yang takkan hilang begitu saja. Ia tetap berdiri di tengah narasi kuasa.
Lewat berbagai upaya yang telah dilakukan, AAtW masih berdiri di hadapan pasukan IDF yang berselempang bedil dan pemberangusan aktivitas kultural di tanah pendudukan Palestina.