Foto: Sven Mandel
Gedung Sunflower House dilempari molotov dan kerikil tajam oleh sekitar dua ribu neo-Nazi. Pecahan kaca jendela berserak di jalanan. Kepulan asap dari bagian depan gedung yang terbakar, membubung tinggi ke langit Rostock. Raungan sirine barracuda polisi anti huru-hara bertaut dengan teriakan massa ekstremis sayap kanan yang berseru “Germany is for Germans!”
Belasan korban yang terluka segera dievakuasi ke rumah sakit terdekat. Sunflower House sendiri adalah asrama tempat bermukimnya para buruh kontrak serta imigran asal Asia, yang berada di Rostock-Lichtenhagen, Jerman. Penyerangan Sunflower House itu terjadi pada 22 Agustus 1992 yang kemudian dikenal dengan The Racists Riot.
Kita bisa menemukan sekuen brutalitas itu lewat film dokumenter besutan Charly Hübner yang dirilis pada 31 Oktober 2017 silam, yakni Wildes Herz (Wild Heart).
Film dokumenter ini mengisahkan Feine Sahne Fischfilet (FSF), band ska-punk asal Mecklenburg-Vorpommern, Jerman. Band ini dibentuk pada 2007 oleh vokalis Jan “Monchi” Gorkow, gitaris Christoph Sell, Jacobus North serta Max Bobzin yang bertugas meniup terompet, Kai Irrgang yang membetot bass, dan Olaf Ney yang mengisi pos drum. FSF tergabung di label rekaman Diffidati Records serta Audiolith Records, dan telah merilis lima album penuh.
Perjalanan FSF sebagai entitas musik sekaligus aksi politik, menarik dicermati. Dalam salah satu scene Wildes Herz, terekam sesi konferensi dari Federal Office for the Protection of the Constitution (Bundesamt für Verfassungsschutz /BfV) pada 2013. Ini semacam lembaga inteligen Jerman yang bertugas menjaga keamanan di dalam negeri. Kala konferensi itu, BvF menyebut FSF sebagai band paling berbahaya di seantero Rostock, kota pelabuhan di tepi Laut Baltik.
FSF dianggap sebagai band punk radikal yang lebih berbahaya ketimbang organisasi teroris sayap kanan macam National Sozialistischer Untergrund (NSU). Namun, berbeda dengan NSU, band ini diberi label ekstremis kiri oleh lembaga intelijen Jerman.
Pada 2009, FSF resmi ditempatkan dalam pengawasan khusus oleh Badan Intelijen Mecklenburg-Vorpommern. Secara eksplisit FSF disebut “anti-negara”. Hal ini bisa kita telingsut dari salah satu nomor yakni “Staatsgewalt”, yang termaktub dalam debut album Backstage mit Freunden (Diffidati Records, 2009).
“The cop helmets, they shall fly
You will get your clubs into your faces!
And afterwards we’ll send you to Bavaria
Because the boys are cured of police.”
—Staatsgewalt (State Authority), Feine Sahne Fischfilet
Lembaga intelijen menganggap lirik lagu itu mengandung ajakan atau berpotensi menuai kekerasan. Sasarannya tidak lain kepolisian maupun otoritas kekuasaan Jerman.
Jika Badan Federal Keamanan Konstitusi dan Badan Intelejen Mecklenburg-Vorpommern menganggap FSF sedemikian berbahaya, lain halnya dengan Lothar Konig, salah satu pendeta dari Jena Christian Youth Group. Pendeta Lothar Konig menyebut bahwa FSF adalah band kristiani esensial dan patut diperhitungkan, persis seperti Ton Steine Scherben. FSF dianggap pendeta Lothar Konig mampu menyuarakan nasib “orang-orang yang terbuang” serta menyerukan sebuah upaya pembebasan.
Konser di kantung rasisme
Meski dalam awal perjalanannya, Monchi pernah menulis lirik yang seksis (FSF mengakui ini di salah satu babakan wawancara) dan jauh panggang dari api soal permasalahan sosial-politik maupun ekonomi, seiring waktu gagasan anarkisme mulai mengubah gagasan yang mereka usung di karya-karya selanjutnya.
Ini pula yang diabadikan dalam film Wildes Herz dalam rentang Januari-Agustus 2017. Selama beberapa pekan, FSF berkolaborasi dengan ultras F.C Hansa Rostock memobilisasi rangkaian tur sebagai upaya perlawanan terhadap kekuatan sayap kanan Jerman lewat Alternative für Deutschland (AfD).
FSF berkeliling mengunjungi pedesaan, distrik-distrik, pusat anak muda, hingga perkotaan untuk mengampanyekan anti-Nazi lewat musik. Festival-festival musik major sekelas Rock am Ring, Hurricane, Southside, dan Vainstream Rockfest, tak pelak jadi arena kampanye FSF juga. Namun dari sekian rangkaian tur itu, saat menggelar konser di Anklam dan Chemnitz yang menyuguhkan kisah menarik.
Pada 26 Agustus 2018, bentrokan pecah di pusat kota Chemnitz. Aksi itu dipicu oleh terbunuhnya seorang tukang kayu asal Jerman bernama Daniel Hilig oleh dua orang imigran dari Irak dan Suriah. Ribuan orang kelompok sayap kanan serta massa anti-imigran berdemonstrasi di jalanan sebagai respons atas kejadian itu.
Namun tidak hanya mereka saja, massa pro-imigran dan Antifa pun juga turut memasang badan untuk menggelar aksi konfrontasi langsung. Bentrokan antara kedua kubu massa berkobar di jalanan Chemnitz. Polisi huru-hara sangat kewalahan dalam meredam amuk massa.
FSF tidak tinggal diam menyikapi eskalasi konflik dari aksi protes di Chemnitz. Hanya berselang beberapa hari dari peristiwa itu, FSF menggelar sebuah konser anti-rasis di bawah slogan #WirSindMehr (They Are More of Us). FSF bersama dengan Die Toten Hosen, Kraftklub, K.I.Z, serta rapper Marteria and Casper, berani menggelar konser di tengah pusat kota Chemnitz.
Jelas pilihan itu bisa dibilang sangat nekat. Kota Chemnitz dikenal sebagai kantung rasisme di Jerman, bahkan menjadi wilayah muasal kelompok anti-islam PEGIDA, dan tempat di mana AfD memperoleh suara terbanyak pada pemilu 2017. Namun mereka kukuh menggelar konser itu.
Pada tahun 2016, Kanselir Angela Merkel memang mengizinkan sekitar 890.000 pengungsi untuk diberi akses masuk ke Jerman, termasuk di dalamnya warga Suriah, Afghanistan, dan Iraq. Kebijakan itu berimbas pada turunnya suara yang diperoleh oleh partai pendukung Merkel di pemilihan umum 2017.
Sementara AfD berhasil menduduki parlemen untuk pertama kalinya setelah memenangkan 12.6% suara dengan lebih dari 90 kursi. Yang selanjutnya jadi perkara di Sachsen terdampak kebijakan Merkel itu adalah jumlah pengungsi atau imigran lebih sedikit tinimbang rata-rata yang bermukim di seluruh Jerman. Atas imbas itu, penduduk di sana memiliki kekhawatiran yang tinggi pada kejahatan yang kemungkinan dilakukan oleh para imigran, tak terkecuali di Chemnitz.
Kala konser berlangsung, ekstremis kanan menonton dari balik barikade polisi dengan geram. Mayoritas warga negara bagian Sachsen di Chemnitz—yang kerap membawa sentimen anti-imigran—merasa sangat terganggu oleh konser itu. Massa kian berang seiring dengan keberanian FSF membentang bendera dan poster Antifa. Puluhan flare dan kepulan smokebomb mewarnai jalannya konser. Sementara para pendukung FSF memplesetkan salam hormat Nazi dengan ujung tangan terkepal.
Yang menarik pasca konser itu berlangsung adalah respons para pejabat negara atau elit-elit partai politik di Jerman. Presiden Frank-Walter Steinmeier tidak disangka justru membagikan postingan dukungan di akun media sosialnya mengenai konser anti-rasis di Chemnitz. Tentu saja hal itu membuat geram para simpatisan serta kolega politiknya.
Pasalnya, Steinmeier dianggap melegitimasi FSF yang telah dicap sebagai “ekstremis kiri” oleh Badan Federal Keamanan Konstitusi dan disebut “anti-negara” oleh Badan Intelejen Mecklenburg-Vorpommern. Dukungan Steinmeier pada konser itu juga menyulut pitam sekretaris jenderal partai Christian Democratic Union (CDU) besutan Merkel, Annegret Kramp-Karrenbauer.
Annegret menganggap Steinmeier tak seharusnya mendukung band punk radikal yang menulis lirik ajakan untuk membakar mobil polisi itu. Namun Steinmeier tak bergeming sedikitpun atas banjir protes yang dialamatkan padanya.
Bermula dari kota neo-Nazi
Kelahiran FSF justru bisa dibilang sebuah anomali jika mengacu pada kota lahir mereka sendiri: Rostock. Wilayah yang terletak di muara Sungai Warnow ini punya sejarah politik yang panjang. Ia dianggap kota pelabuhan penting terutama saat masih jadi bagian rezim komunis Jerman Timur. Saat tembok Berlin runtuh yang berujung pada penyatuan Jerman, perekonomian Rostock ambrol. Lapangan pekerjaan jadi sangat langka. Belum lagi gelombang imigran Vietnam dan Rumania yang membuat persaingan semakin ketat.
Kondisi itu menuai kemunculan neo-Nazi di Rostock. Kota yang pada era sebelum reunifikasi itu dipandang istimewa, malah menjadi kavling tempat bermukimnya orang-orang yang tak menghendaki para imigran. Silsilah inilah yang jadi rahim dari peristiwa The Racist Riots tahun 1992 di Gedung Sunflower House, Rostock-Lichtenhagen.
Seperti banyak kota lainnya di Eropa, Rostock punya tradisi sepakbola yang kuat. Salah satu klub yang bermarkas di kota ini adalah F.C Hansa Rostock. Embrionya bermula dari klub bernama Empor dari Kota Lauter yang dipindahkan oleh Kepala Stasi, lembaga intelijen dan polisi rahasia Jerman Timur, Erich Mielke ke Rostock pada musim 1954-1955. Klub ini resmi menggunakan nama Hansa Rostock sejak 1965.
Kendati dikenal sebagai basis kuat neo-Nazi, suporter Hansa Rostock terpecah dua. Ada kelompok kanan yang anti-imigran, ada pula faksi suporter anarkis mereka.
Ada istilah The Fear Derby untuk menggambarkan duel panas antara Sankt Pauli dengan F.C. Hansa Rostock. Sebutan ini mengacu pada pertentangan politik suporter Sankt Pauli yang berhaluan kiri dan Hansa Rostock tepat diseberangnya.
Pada akhirnya, lewat film dokumenter Wildes Herz kita diajak menapaki tebing curam rasisme serta fasisme di Eropa. Ia menggambarkan bagaimana sepakbola serta musik mampu menjadi motor penggerak massa.
“Jika kami membatalkan [konser dan aksi] setiap kali beberapa Nazi mengeluarkan peringatan kepada kami, maka kami tidak akan menggelar konser lagi sama sekali. Anda tidak boleh menyerah di depan orang-orang ini,’” tutup Monchi.