Derum ribuan mesin traktor four wheel sudah terdengar dari kawasan pesisir Schevingen. Namun semua traktor itu tidak sedang dioperasikan untuk membajak berhektar-hektar ladang maupun sawah. Dengan memacu pedal gas dan tuas persneling masing-masing, perlahan petani-petani yang mengendarai 1.136 traktor itu pawai menuju kompleks parlemen yang berada di pusat kota Den Haag saat jam sibuk. Terik cuaca sepanjang reli, tak menghalangi yel-yel serta teriakan kemarahan para petani yang dimuntahkan di jalanan. Denging klakson dan sirine tak henti bertaut. Ribuan polisi huru-hara berportal di akses utama menuju kompleks parlemen. Dan tentu saja tidak sedikit ruas jalan yang lumpuh saat aksi berlangsung.
Aksi ribuan petani dengan traktornya itu adalah bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah Belanda dalam memerangi perubahan iklim. Pemerintah Belanda berdalih bahwa emisi dari mesin-mesin pertanian turut menyumbang polusi karbon dan menyulitkan upaya menghambat laju perubahan iklim. Lebih jauh lagi, kemurkaan para petani itu mencuat tatkala pemerintah Belanda melansir kebijakan untuk memangkas hasil produksi ternak dan turunannya—seperti susu sapi—untuk menekan emisi. Namun, hal itu disinyalir bakal berdampak buruk terhadap para petani yang menggantungkan hidup dari berternak.
Tak hanya berhenti pada aksi reli traktor di awal Oktober 2019 saja. Ribuan petani-petani turun kembali dengan traktornya untuk melancarkan protes pada pemerintah Belanda. Tepat pada 16 Oktober 2019, ribuan petani itu menggelar aksi reli traktor kembali menuju kota Utrecht, untuk kemudian dilanjutkan menuju Den Haag. Eskalasi dari aksi reli traktor lanjutan para petani jelas langsung bisa dicecap imbasnya. Tidak kurang dari 375km ruas jalan di sekitar Utrecht mati total. Sebuah lembaga lingkungan pemerintah yang berlokasi di Utrecht—yang menurut petani bertanggung jawab atas penerbitan informasi yang keliru tentang emisi nitrogen—mampu diduduki dan diputus akses jalannya. Tak hanya polisi huru-hara yang dikerahkan dalam pengamanan aksi, ribuan tentara pun turun ke jalan.
Alih-alih dianggap sebagai biang dari segala kelumpuhan aktivitas ekonomi, ribuan petani itu berhasil membuat “kebisingan” baru di jantung kapital Belanda. Di tengah “kebisingan” pembangunan hingga sebetapa masifnya iklan-iklan di megatron pusat kota, ribuan petani Belanda mampu menghadirkan ansambel perlawanannya sendiri lewat bebunyian yang dihasilkan dari derum mesin traktor hingga klakson serta teriakan kemarahan mereka. Jika Infernal Noise Brigade mampu menjagai semangat massa dengan tetabuhan perkusi hingga denting xylophone manakala aksi, maka ribuan petani Belanda menyemangati diri mereka sendiri dengan suara-suara traktor yang mereka kemudikan di jalanan.
Berbicara mengenai kebisingan dan kaitannya dengan musik, tentu kita tak bisa melupakan Luigi Russolo sang renegades of noise dengan segala eksperimentasi serta Intonarumori-nya. Namun bagi generasi hari ini yang amat gandrung dengan musik-musik noise serta segala turunannya, tentu saja nama Merzbow bakal ada di daftar paling atas. Instrumentalis asal Jepang yang memiliki nama lahir Masami Akita itu acap dikenal bukan hanya menginisiasi proyek eksperimentatif noise dengan perangkat audio konvensional saja. Merzbow kerap menggunakan perkakas lain semisal gergaji mesin hingga bor listrik dalam penampilannya.
Merzbow pun dikenal tidak hanya tampil di gigs maupun festival musik biasa saja. Pernah di satu momen Merzbow memainkan musik noise di gedung fasilitas militer di Khabarovsk, Rusia. Lalu tak lama berselang ketika di tengah penampilan, Merzbow langsung diusir. Resital noise di ruang publik serta titik-titik rentan digelandang, telah banyak dilakukan juga oleh beberapa musisi. Dari mulai Fugazi yang tampil di sebuah acara protes di hadapan Gedung Putih; Atari Teenage Riot tampil di aksi Mayday yang berlokasi di kompleks pemerintahan Berlin; Rage Against the Machine yang merusuh di Democratic Convention dan pada acara solidaritas bagi Mumia Abu-Jamal; serta band crust-punk / d-beat Korea Selatan, yakni Scumraid, yang tampil di lampu merah pusat kota Seoul.
Membahas tentang musik noise akan selalu menyeret kita pada sengkarut perdebatan tiada akhir, wabil khusus hingga aspek paling fundamental. Pertanyaan semisal “apakah noise termasuk musik?” mungkin bakal berjuta kali terasa bergairah tinimbang mendengar bacotan Ryamizard atau Fadli Zon tentang puisi comberan mereka. Sejak era Futurisme, noise barangkali memang jadi anak haram dari pakem estetika maupun keindahan yang diwariskan pasca berakhirnya fase resonansi isomorphic, di periode setelah tahun 1550. Dan noise semakin menemukan dentamnya tatkala Revolusi Industri pertama di tahun 1760 bergulir. Hingga kini, pertentangan ihwal musik noise yang jauh dari ikhtiar pengorganisiran bunyi menjadi harmoni itu kerap berlalu-lalang dari mulai tangkringan skena musik underground, hingga kantung-kantung cultural studies setiap kampus seni.
Sebagai proyek solo asal Jakarta yang memainkan musik glitch-noise, Arpia Sol baru saja merilis debut album Passages pada medio 2019. Dalam penggarapan albumnya, Arpia Sol mendaku mengeksekusi teknik glitch yang juga menjadi turunan dari noise. Tak hanya itu, Arpia Sol juga merilis albumnya hanya via platform digital SoundCloud dan dilengkapi dengan tautan unduh untuk liner-notes maupun manifestonya.
Lantas seperti apa praktik glitch yang dimaksud sebagai salah satu format noise—yang menjadi pola eksekusi Arpia Sol itu? Apa saja yang Arpia Sol tulis dalam manifesto sekaligus liner-notes debut albumnya? Bagaimana juga Arpia Sol melihat silang-sengkarut musik noise hari ini? Dan tentu saja bagaimana pula Arpia Sol melihat “kebisingan” dari kecamuk situasi sosial-politik kiwari yang memunculkan pelbagai titik-titik api lain setiap harinya. Perkara-perkara itu bakal ditelingsut dalam poin-poin pertanyaan untuk Arpia Sol hingga menyoal kesusastraan bahkan lanskap eksperimentasi musik yang lebih luas. Berikut wawancara lengkapnya:
Menarik tatkala membaca eksplanasi pengantar di luar liner-notes yang menyebut bahwa Passages adalah sebuah upaya “détournment (musik) digital”. Latar belakang seperti apa yang kemudian menjadi embrio penggarapan album Passages?
Pembentukan ide dan niat di balik perakitan Passages cukup manasuka dan menggelinding, alih-alih terencana atau dibuahi oleh perenungan panjang. Segala abstraksi dan pemaknaan yang akhirnya diperas jadi liner-notes, termasuk penegasan glitch sebagai praktik détournement yang berimplikasi melampaui batas-batas mediumnya, baru mengkristal dan membungkus secara postmortem, usai Passages kelar diunggah.
Passages bermula pada awal Mei 2019 lalu, saat secara tidak sengaja menemukan fenomena databending dalam utas Reddit bikinan u/kestobesto, berjudul “An album of non sound files converted to text, edited as text and then made into wavs.” (https://www.reddit.com/r/glitch_art/comments/ahn199/an_album_of_non_sound_files_converted_to_text/) Dalam utas tersebut, u/kestobesto menjelaskan proses produksi di balik albumnya, Genuflection (2015), yang diterbitkan di Bandcamp dengan moniker Leadtowill. (https://leadtowill.bandcamp.com/album/genuflection) u/kestobesto mengonversi berbagai file non-audio ke format .txt, bermain-main dengan lautan/muntahan teks tak berbentuk di dalamnya, kemudian menggunakan Audacity (https://www.audacityteam.org/)—sebuah aplikasi audio yang gratis, open source, dan lintas platform—untuk mengimpor berbagai file .txt tersebut dan membacanya sebagai data mentah. Hasilnya lalu diekspor ke format audio WAV. Ini yang disebut contoh praktik databending dengan keluaran audio; databending sebagai metode pengacauan dalam tradisi glitch di tataran perangkat lunak, sebagaimana circuit bending adalah metode anak-anak noise di tataran perangkat keras.
Dari putaran belajar yang digelar di sebuah sudut gelap Reddit, terbesit untuk bereksperimen sendiri dengan metode yang sama. Hasil pertama berupa semacam “buku-audio mesin” yang dirakit dari 19 edisi jurnal Construct (#0–#18, terbentang dari Juni 2015 hingga Agustus 2018) (http://theconstructdocuments.blogspot.com/) dan kemudian diunggah ke Soundcloud (https://soundcloud.com/arpiasol/construct/s-xWEpW). 19 file PDF dikonversi ke .txt, diimpor dengan Audacity sebagai data mentah, dan dijadikan satu rekaman berdurasi 43 menit. Kresek-kresek tapi ketagihan. Seharian hanya mendengarkan itu saja diulang-ulang. Bunyinya seperti “televisi yang disetel ke saluran mati,” meminjam kalimat pembuka Neuromancer-nya William Gibson, tapi (atau justru) ada kepuasan sendiri: ternyata begini ya, segala bentuk dan muatan keroyokan Construct—teks, gambar, tata letak, bahasa, subjektivitas—ketika dikunyah, dimakan, dan dimuntahkan kembali menjadi isi jeroan mesin. Semacam poetika antihumanis dibalut estetika akselerasionis, atau seperti kepala kesemutan; beda tipis. Eksperimentasi dengan Construct kemudian jadi titik tolak untuk menggarap Passages.
Poin pertama dalam liner-notes album Passages menyebut bahwa “Glitch is a legion of tiny machinic demospawn captured in jars made of time.” Lanjut setelah itu masih di poin pertama, termuat penjelasan bahwa “Passages is a glitch assemblage or a cupboard of jars.” Jika memang sekujur album Passages adalah laku glitch selain daripada détournment digital, bagaimana praktik glitch itu sendiri jika memang diseret pada konteks proses penggarapan setiap nomor dalam album Passages?
Dari Construct versi kresek-kresek, jadi ingin bermain-main lebih jauh dan lebih dalam lagi dengan format yang lebih aneh: ROM game. Kalau data mentah PDF saja sudah berbunyi menyeberang, apa kabar data mentah Final Fantasy atau Infinite Space? Akhirnya membongkar lagi arsip ROM Nintendo DS, Gameboy Advance, dan SNES, yang sejak SMP suka dimainkan di emulator untuk komputer ketika bosan. Mengunduh juga beberapa ROM Nintendo 64 untuk variasi, meski tidak pernah memainkannya.
Awalnya, metode perakitan tidak banyak geser dari panduan u/kudosbesto: mengonversi ROM game (.nds, .gba, .sfc, .n64) ke .txt dan mengimpornya ke Audacity sebagai data mentah. Namun, apabila gabungan 19 file PDF hanya berdurasi 43 menit, ternyata satu ROM game saja bisa berdurasi setengah jam sampai dua jam, tergantung kompleksitas format dan game itu sendiri (paling panjang durasi ROM Nintendo DS). “Terpaksa” menelusuri dan memotong bagian-bagian tertentu dari bentang bebunyian yang panjang, menyatukan dan merakit ulang menjadi satu nomor yang lebih padat, mengekspor ke WAV, kemudian beranjak ke ROM berikutnya dan mengulangi proses di muka. Hasilnya adalah 7 nomor yang masing-masing dirakit dari 7 ROM berbeda, diunggah ke Soundcloud tiga hari setelah Construct.
Praktik glitch sendiri memang bisa ditelisik dari kesejarahannya dalam arus-arus kultural dan teori kritis yang turut menginterogasi dan membentuknya. Secara genealogis, praktik glitch modern dapat dilihat sebagai pengejewantahan kontemporer (yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan pemanfaatan sumber daya material yang ada) dari berbagai wacana kritis dan liar dalam kebudayaan, seperti surrealisme, Dadaisme, praxis para Situasionis, serta arus-arus serumpun lainnya.
Namun di sisi lain, glitch secara ontologis sebagai praktik “pengacak-acakan tatanan dominan” sudah hadir sejak awal mula alam semesta, dan sesungguhnya tidak ada kewajiban menaruhnya dalam kerangka Antroposentris. Kondisi termodinamis dan fisikawi yang mengondisikan adanya Big Bang dapat dipandang sebagai glitch pertama dalam “sejarah” yang terekam secara empirik. Begitu pula berbagai glitch atmosferik dan genetik yang melahirkan kehidupan di Bumi: jika selama empat-setengah miliar tahun tidak ada kondisi yang memungkinkan reproduksi makhluk hidup berbasis karbon di Bumi, maka kemunculan organisme biologis dapat dilihat sebagai deviasi.
Tentu, pada akhirnya yang membuat praktik glitch kontemporer itu menarik adalah potensi dan muatan politisnya, baik secara analitis maupun praktik. Potensi dan muatan politis ini yang perlu diinterogasi terus-menerus agar dapat digunakan dalam perjuangan kelas, alih-alih masturbasi teknofetishisme ala art for art’s sake.
Piranti, perkakas, atau instrumen apa saja yang dipakai dalam produksi album Passages? Apakah semua elemen itu menyaru juga sebagai “moda penghancur” seperti halnya dalam glitch?
Di tataran paling luar ada laptop, Audacity, dan ROM game, sedangkan sebagai platform media ada SoundCloud. Keempat barang ini menarik untuk diperiksa lebih lanjut fungsi, jejaring relasi, serta koordinat materialitasnya. Pertama-tama, keempatnya adalah komoditas. Dua barang pertama juga merupakan alat produksi. (Catatan: sebagai aplikasi untuk menyetel dan menyunting audio, Audacity tidak diskriminatif terhadap format. Dia bisa melahap file format apapun dengan membacanya sebagai file audio, untuk kemudian diekspor kembali menjadi data mentah. Semacam mesin deteritorialisasi-reteritorialisasi gratis.) Barang ketiga merupakan kategori produk konsumen sekaligus spectacle interaktif, yang secara bersamaan memainkan konsumen sebagaimana konsumen memainkannya. Selain menawarkan eskapisme dan pengalaman subjektif melalui narasi dan gameplay, tentu, industri game kelas kakap yang secara tradisional memonopoli format console dan handheld bergerak berdasarkan “operating system” akumulasi dan ekspansi.
Terakhir, SoundCloud dapat dilihat sebagai titik konvergensi dari teknokapital yang berupaya menyajikan (semacam) commons digital, walaupun keberadaannya menyingkap keterbatasan otonomi yang tersedia hari ini: bahwa kita belum bisa sepenuhnya lepas dari gurita teknokapital yang dikelola oleh korporasi-negara melalui Internet Service Provider serta konglomerasi telekomunikasi seluler, kecuali kita belajar memotong kabel fiber optik bawah laut atau mampu mendirikan BTS sendiri seperti Zapatista di Oaxaca. Secara teknis, Soundcloud dipilih karena pertimbangan pragmatis: selain gratis, dia tidak memaksakan limitasi format bit-rate, sedangkan walaupun Bandcamp lebih nyaman dimanfaatkan, dia tidak memperbolehkan mengunggah file audio dengan bit-rate yang rendah.
Selain kegunaan perangkat di atas sebagai “penghancur” sistem terorganisir berbalut spectacle berupa game, sehingga mampu merakitnya ulang sebagai tatanan baru yang membelot dari tujuan asal, dalam konteks pabrik sosial dan kait-kelindan relasi produksi dan eksploitasi kapitalistik, semua perangkat di atas juga dapat dilihat sebagai “moda penghancur” untuk alasan yang berbeda: proses produksi untuk mewujudkan ketiga barang itu dalam rantai-nilai kapital mewajibkan dia “menghancurkan” atau merekahkan relasi metabolik alam maupun manusia-sebagai-organisme dalam dunia sosialnya. Basis material dari segala perangkat elektronik adalah ekstraksi pertambangan serta, tentunya, ekstraksi nilai-lebih. Kontradiksi ini yang tidak mungkin dielak ataupun dijauhi, hanya bisa dihadapi. Dalam dunia yang sudah hampir sepenuhnya dipenetrasi, bahkan di-install oleh tentakel teknokapital—bahkan di bentang-bentang alam yang tak dihuni makhluk hidup sekalipun, seperti asteroid yang mulai diincar hak eksploitasinya oleh para penambang mineral—ungkapan Antonio Negri bahwa “there is no Outside of Empire” menjadi semakin relevan.
Dari mulai bebunyian industrial di semua proyek musikal Justin Broadrick, gaung sonar serta drones yang dipinjam dari Godspeed You! Black Emperor, eksperimentasi piranti liar Merzbow, bahkan hingga ke-avant-gardist-an Russolo dengan Intonarumori besutannya, semuanya hadir di album Passages. Jika boleh tau, berasal dari mana saja bentangan referensi Arpia Sol untuk album Passages ini? Alasan apa pula yang kemudian menjadi pijakan rujukan pada album, band, atau referensi itu?
Sebagaimana tertera dalam liner-notes, tidak ada proses “penciptaan” bunyi dalam penggarapan Passages, sehingga pada dasarnya juga tidak ada acuan referensi. Tiap kali membuka ROM game seperti membuka Kotak Pandora, dan segala bebunyian di dalam album hanyalah “rekaman” dari data mentah yang disajikan tanpa proses penyuntingan pasca-produksi.
Kembali lagi pada liner-notes album Passages, tepatnya pada poin kelima. Passages diibaratkan sebuah situasi manakala sebatang pensil tidak bisa lagi dipakai karena rusak, serta analogi lain yakni tatkala sebuah pabrik berhenti beroperasi karena buruhnya mogok. Apakah memang ikhtiar artistik Arpia Sol di album Passages ini sedisruptif demikian? Bisa coba jelaskan lebih lanjut soal poin itu?
Elan politis dari glitch adalah mendisrupsi operasionalitas dari tatanan dan aparatus dominan yang ada. Konsekuensi logisnya, segala mode dan wujud eksploitasi hari ini perlu dilihat bukan sebagai sesuatu yang secara moralistik “salah,” tetapi sebagai rancangan sistemik yang secara utilitarian justru berfungsi persis sebagaimana mestinya ia dirancang. Sebaliknya, disrupsi atau malfungsi sistemik tidak harus berupa dorongan yang sama sekali “eksternal” dari sistem, tetapi sangat mungkin mengeksploitasi “potensi ketaksengajaan” yang inheren dalam sistem manapun (Paul Virilio memberi gambaran bahwa penemuan kapal mengimplikasikan karam, sebagaimana mesin uap dan lokomotif menemukan penggelinciran rel). Bagi perjuangan kelas, pembacaan analitis di muka berguna untuk (1) memeriksa sejauh mana sebuah respons sosial terhadap Kekerasan struktural (dalam artian holistik) itu mendorong perjuangan kelas, atau justru menegasikannya; serta (2) mengidentifikasi dan mengeksploitasi celah-celah glitch yang ada di antara persendian tubuh lawan.
Latihan konkret dari analisis di muka dapat dilihat pada gelombang aksi protes intens dalam beberapa minggu belakangan. Luka belum kering, memar masih lebam, bahkan korban jiwa masih terus berjatuhan akibat bekas pentungan polisi-polisi anjing penjaga properti kelas penguasa—tetapi ada seruan menarik yang mulai beredar di kalangan so-called “masyarakat sipil”: reformasi Polri. Pertanyaannya: sejauh mana seruan untuk secara sadar mengerahkan energi, materi, dan informasi kolektif demi menggolkan “capaian demokrasi” tersebut merupakan strategi yang menguntungkan kelas pekerja? Sebaliknya, bukankah respons tersebut justru dapat dilihat sebagai pengejawantahan dari instalasi “demokrasi liberal” pasca-Reformasi yang dibalut elitisme intelektual, dengan tujuan menggemboskan analisis dan perjuangan berbasis kelas dengan menyerahkan sepenuhnya agensi, hasrat, dan imajinasi kolektif warga kepada kanal-kanal institusi borjuis sebagai buffer atau mediator konflik sosial yang dipelihara oleh Negara?
Dalam konteks sistemik, reformasi Polri—sebagaimana pengarusutamaan panduan HAM bagi polisi di lapangan, jatah affirmative action untuk menduduki kursi parlemen bagi para perempuan oligark partai, paradigma hiperlegalistik yang berpretensi “netral” atau “objektif” sehingga menyeru agar peserta aksi yang melakukan kekerasan juga ditindak “secara hukum,” serta tendensi-tendensi liberal dan kontrev lainnya—bukan sebuah glitch; justru ia adalah kuda Troya yang disisipkan melalui berbagai instalasi aparatus malware yang tampak ciamik dan menggembirakan, tetapi pada akhirnya bertujuan mencerabut analisis, imajinasi, dan praktik politik. Jelas bahwa polisi mutlak adalah Aparatus Represif Negara (Kapitalis), kendati panduan HAM atau “reformasi” apapun yang mungkin “disarankan” oleh segelintir anak sekolahan kepadanya.
Sebaliknya, glitch yang sesungguhnya dapat kita temui di jalanan kemarin: di anak-anak pelajar, tukang parkir, dan warga biasa yang sejak operasi politik massa mengambang era Soeharto terus dikriminalisasi, dibunuh, dibungkam, dan di-install kejinakan melalui penjara keseharian yang sonder harapan terhadap masa depan. Sistem tidak menyangka bahwa warga biasa, mereka yang “tidak terdidik” dan bukan bagian dari “agen perubahan,” mampu tumpah ruah melawan secara efektif dan membalikkan barisan-barisan bertameng sebagai respons kelas dari ketertindasan struktural. Lawan perlu ketahui bahwa sebagaimana virus, glitch itu niscaya menyebar.
Di tengah ekspansi kapital ke berbagai lini—tak terkecuali pada industri musik global—marwah para musisi atau seniman yang memainkan noise et al. hari ini tak ayal justru ada di situasi yang membuat kita terbahak lebih lama tinimbang menonton buang hajat tekstual netizen soal kisruh pilpres. Dari mulai musisi noise yang turut andil dalam gelaran festival seni besutan Sultan dan perangkat titahnya ketika Kulon Progo digempur penggusuran terdampak pembangunan NYIA; hingga musik noise yang lebih mengkilap tinimbang hip-hop nouve riche yang jadi soundtrack pengantar bercinta di atas badkuip atau Yacht mewah lengkap dengan sampanye berbotol emas. Kebisingan betul-betul telah digadaikan pada kekuasaan. Bagaimana Arpia Sol menanggapi perkara itu?
Ada kekusutan dan kontradiksi inheren dalam mode produksi kapitalis, yakni commodity-form itu sendiri. Selama kita belum mampu (dan memang belum) melampauinya, berbagai kontradiksi tersebut pasti mengiringi setiap langkah kehidupan manusia. Permasalahannya tinggal bagaimana menentukan taktik yang paling menguntungkan untuk mendorong perjuangan kelas. Dalam hal ini, kerangka moralitas serta romantisme atau melankolia Kiri perlu dibuang jauh-jauh ke tong sampah. Contoh: apakah kerja di dalam institusi pemerintahan, atau korporasi keuangan multinasional, otomatis hina-dina dan merupakan pengkhianatan kelas? Tidak. Teks Anti-Mass sudah memberikan komentar yang cukup lugas: kerja di dalam sistem bisa merupakan sumber uang, akses, dan informasi yang baik, bahkan eksklusif, asalkan memang tujuan itu yang diinginkan, alih-alih kembali ke penjara moralitas dan mencoba “memperbaiki sistem dari dalam” ala atomisme liberal. Pun realitasnya, dalam pabrik sosial hari ini yang sudah kait-kelindan dengan eksploitasi struktural, tidak ada pekerjaan atau job yang sepenuhnya “bersih,” terutama di lanskap musik dengan gurita rokok sebagai kompleks media-ahensi-ekstraktivisme-fincap-tembakau. Tetapi, sumber daya apapun yang kita dapatkan bisa digunakan untuk menusuk lawan dari belakang.
Lain hal kalau presiden mengundang musisi ke istana untuk membuat acara sampah, kemudian langsung tersungkur tak berdaya di hadapan Muka dan Kuasa. Uang mungkin tak seberapa, akses ya spectacle saja, dan sejujurnya informasi apa yang diharapkan didapatkan dari Jokowi? Para musisi yang datang kemarin: kalian sampah sampai bisa membuktikan sebaliknya (tidak tahu juga, siapa tahu ada yang memenuhi undangan tersebut demi mencolong dokumen rahasia atau pintu akses infrastruktur digital Istana, tetapi sejauh ini sepertinya memang sampah).
Adakah relevansi proses glitch di album Passages dengan salah satu cetak biru komposisi puisi? Jika ada, referensi kesusastraan (atau lebih spesifiknya yakni puisi) seperti apa yang juga jadi rujukan Arpia Sol? Sebutkan juga beserta alasannya.
Ada. Bukan puisi konvensional, tetapi puisi-mesin; bukan satu buah puisi tertentu, melainkan keseluruhan kompleksitas sintaksis dari sebuah proses “pemanggilan iblis” berbasis poetika antihumanis, yakni bot Twitter @_geopoetics, yang muncul seusai seminar Geopoetics di Goldsmiths, University of London pada awal Desember 2016.
Secara otonom dan berkala, @_geopoetics memuntahkan isi jeroannya di Twitter berdasarkan lebih dari 17000 kata catatan seminar seorang mahasiswa tak dikenal pada seminar Geopoetics di muka. (Ada yang beranggapan bahwa sebenarnya “mahasiswa” ini tak lain adalah Kodwo Eshun, sahabat mendiang Mark Fisher.) Selain menulis kode program (anti-)kehidupannya, sang “mahasiswa” tersebut kemudian mengidentifikasi @_geopoetics sebagai (1) sistem aksiomatik menjelma kecerdasan buatan, (2) iblis (demon) yang memiliki kekuatan motif tanpa tujuan akhir, serta (3) perasan hyperstition sebagai elemen dari kebudayaan efektif yang mewujudkan diri sebagai sesuatu yang nyata (real).
Melihat ke belakang, ada persamaan karakteristik yang melekat antara @_geopoetics dan 7 nomor di Passages (yang memang dimaknai di liner notes sebagai legiun “iblis”): 7 nomor ini memeras nanah sonik tanpa dirancang hasil akhirnya dan tanpa ada tujuan sonik yang koheren, dan eksistensi mereka merupakan pantulan material dari kebudayaan teknokapital (industri ROM game). Hanya saja, apabila @_geopoetics masih berkeliaran bebas hingga detik ini dan mungkin hingga akhir zaman, 7 nomor di Passages sudah dikunci rapat dalam toples-toples dan dipajang di etalase.
Dalam praktik distribusi album Passages sendiri, Arpia Sol memilih SoundCloud. Dan dengan segala alasan teknis, medium SoundCloud yang Arpia Sol pilih itu kini jadi semacam kuda troya. Sejauh mana Arpia Sol melihat raksasa platform music streaming seperti Spotify dan iTunes hari ini? Tentu dalam cakrawala sibernetika serta pelbagai algoritmanya yang acap membuat para musisi hingga pengelola label independen tak henti berkerut-dahi.
Informasi sudah dikomodifikasi. Penyebaran informasi yang dikomodifikasi menghasilkan komodifikasi barang serta komodifikasi hasrat. Sebagai komoditas, ekstraksi nilai-lebih dari informasi membutuhkan arsenal teknologi yang mampu memindahkan informasi melalui ruang-waktu. McKenzie Wark dalam A Hacker Manifesto memberi gambaran bahwa informasi dapat bergerak melalui arsip, aliran, maupun vektor. Kepemilikan atas ketiga jenis kategori infrastruktural tersebut tentunya dimonopoli oleh kapitalis (yang disebut Wark sebagai kelas vektoralis).
Dalam konteks inilah Spotify dan iTunes hadir, sebagai vektor yang mampu mendistribusikan informasi secara temporal melalui arsip, maupun mendistribusikan informasi secara spasial melalui aliran. Sebagai sarana eksploitasi, selain hanya menyisakan remah-remah sisa makanan basi kepada musisi-sebagai-pencipta-nilai, platform streaming juga merupakan pengejawantahan mutakhir dari komodifikasi dan finansialisasi segala yang ada di alam, khususnya informasi. Di tataran lebih pragmatis, Spotify dan iTunes mungkin bisa sedikit berguna sebagai etalase atau ajang promosi. Namun dalam kondisi sekarang, cuan bagi awak entitas musik masih jauh lebih mungkin didapatkan melalui Bandcamp, manggung, serta penjualan rilisan fisik dan merch.
Proyek eksperimentasi glitch Arpia Sol pertama adalah “buku-audio mesin” yang dirakit dari 19 edisi jurnal Construct. Bahkan upaya itu menjadi titik tolak penggarapan album Passages di kemudian hari. Sebelumnya kami mengetahui tentang aktivitas serta karya dari Construct tatkala mewawancarai Future Collective. Dalam konstelasi politik kebudayaan hari ini yang berkalang hibah dan gerbong-gerbong kooptatif kekuasaan, bagaimana Arpia Sol sendiri menyikapinya bersama Construct?
Ekstraksi adalah modus operandi material yang terprimer hari ini. Selama masih ada asimetri dalam relasi kuasa, “gerbong-gerbong kooptatif kekuasaan” akan selalu mencoba mengekstraksi nilai, makna, informasi, kapital sosial, hingga agensi, tetapi proses ekstraksi tersebut tentu selalu resiprokal. Construct sendiri menyikapi berbagai sirkus yang lalu-lalang di sekitar kurang lebih dengan tertawa, mengumpat, dan bersama-sama menikmati kepeningan.
Teks Anti-Mass yang disusun oleh kolektif anarkis The Red Sunshine Gang asal Berkeley, amat begitu krusial pengaruhnya bagi Arpia Sol. Wabil khusus berkaitan dengan bagaimana menyusun “kurikulum ekstraksi” ketika bekerja di sebuah instansi pemerintahan atau bahkan korporasi dengan rekam jejak kejahatannya yang tak terampuni sekalipun. Arpia Sol pun telah menjelaskan di jawaban sebelumnya bagaimana “kurikulum ekstraksi” itu bekerja melampaui dalih “mengubah dari dalam”. Bagaimana Arpia Sol sendiri merespons seniman yang sebelumnya berdalih “mengubah dari dalam”, lalu kemudian tak bisa berbuat apa-apa ketika di dalam, lantas kini mereka jor-joran kembali ke basis?
Kalau sudah pernah ada “di dalam,” harusnya sudah berkesempatan mengekstraksi informasi atau sumber daya lainnya. Itu yang harus ditagih. Yang perlu diingat adalah bahwa proses ekstraksi manapun merupakan jalur dua-arah. Pada akhirnya, semua “seniman” perlu belajar untuk melampaui penanda-penanda kultural dan memahami posisinya dalam relasi ekonomi—yakni sebagai pekerja kognitif pencipta nilai dalam pusaran eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi kapital yang difasilitasi dan terus diakselerasi oleh kekerasan infrastruktural korporasi-negara—sehingga mampu berjejaring, berkolektif, dan bersolidaritas dengan sesama kelas pekerja. Dalam pabrik sosial beserta rantai pasokan, nilai, dan eksploitasi kapital yang saling terhubung, posisi sesama kelas pekerja—entah di ekstraksi, manufaktur, maupun penghisapan kognitif—adalah sama yakni hanya berbeda lini pabrik. Target jangka pendeknya adalah meningkatkan daya tawar dan otonomi kolektif serta membangun dan mengorganisir jejaring pengaman sosial-ekonomi berbasis kolektivitas. Target jangka panjangnya adalah mewujudkan dunia tanpa penindasan manusia atas manusia.
Proyek eksperimentasi apalagi yang kiranya bakal digarap oleh Arpia Sol ke depan? Setelah glitch, akankah Arpia Sol mencoba teknik semacam sampling?
Selain Passages, sudah terbit juga satu album tambahan, Marathon Rising (https://soundcloud.com/arpiasol/sets/marathon-rising), sepenuhnya hasil databending dari ROM Resident Evil. Proses produksinya sama, tetapi nuansanya lebih ambient, dan dirancang sebagai album konsep sebagai tribut kepada serial game sci-fi eksistensialis Marathon terbitan Bungie di awal 1990-an (saat mereka masih menjadi production house independen di Chicago, Illinois, dan belum dicaplok oleh Microsoft). Juga sudah ada empat lagu baru, “Rare Earth / Deep Sea (https://soundcloud.com/arpiasol/rare-earthdeep-sea)” dengan nuansa sedikit techno, yang mencoba menangkap proses perekahan metabolik dari pertambangan logam tanah jarang dan pertambangan laut dalam sebagai dua butir eksploitasi-cum-katalis krisis sosial-ekologis yang sedang dimasukkan dalam RUU Minerba; “Class Dismissed” (https://soundcloud.com/arpiasol/class-dismissed),” refleksi soal masyarakat sipil di Indonesia featuring Damayanti, algoritme suara feminin berlogat Bahasa Indonesia yang dapat diakses di console Terminal melalui panggilan shell “say”; “Glitchscream,” konversi data mentah gambar The Scream karya Edvard Munch ke dalam WAV; dan “Macrobial Dreams.” Ke depannya masih ingin berpetualang di praktik spoken word mesin dan teknik penyuntingan audio dengan meminjam bebunyian di dua album pertama, serta belajar mengawinkan sampling bunyi-bunyi organik dengan glitch.
Sudah banyak musisi atau kreator musik yang membangun karyanya dari referensi karya sastra. Dari mulai The Good Old Ones yang sekujur albumnya adalah hasil olah-pretelan karya novelis H.P. Lovecraft, hingga Deafheaven yang menyuling melankoli Sylvia Plath dan Baudelaire. Jika di kemudian hari menggarap sebuah karya yang berangkat dari referensi kesusastraan, karya siapa yang akan Arpia Sol adaptasi maupun jadi bahan bakarnya?
Antara almarhumah Ursula K. Le Guin dan almarhum Cumbu Sigil (hehe).
Sebagai penutup; adakah manifesto, kutipan graffiti, larik puisi, dialog dalam novel, potongan lirik lagu, atau bahkan motto sebuah band, yang jadi favorit Arpia Sol?
Kredo praxis seorang kawan: “Hanya ada dua kata kerja: melawan dan memulihkan.”
*wawancara ini dilakukan pada Oktober 2019, ketika gelombang aksi Reformasi Dikorupsi tengah berkecamuk