Foto: Dokumentasi BBC
Meski berada di dalam penjara yang ketika subuh dinginnya acapkali mengular ke dampal, Nawal masih bisa menulis di atas tisu toilet dengan pensil alis. Lantaran nyali dan semangat yang enggan dialmarikan, di bilik lokap itu Nawal menulis memoar tentang bagaimana marwah seorang perempuan yang diberangus kekuasaan.
Nawal Zeinab el Sayed atau yang juga dikenal sebagai Nawal El Saadawi, lahir di desa Kafr Tahla, di tepi sungai Nil, Mesir, pada 27 Oktober 1931. Nawal lahir dari seorang Ibu dari keluarga kaya keturunan Ottoman. Sedangkan sang Ayah adalah seorang pejabat pemerintah di Kementerian Pendidikan Mesir, yang selama bertahun-tahun telah andil menentang pemerintahan pendudukan Inggris di Mesir dan Sudan selama Revolusi Mesir tahun 1919. Dari keduanya, embrio kepenulisan serta pembangkangan artistik maupun politik Nawal bermula.
Nama Nawal sangat krusial dalam peta kesusastraan Mesir maupun Arab. Bukan hanya karena dia begitu prolifik dengan bibliografi karya yang sangat solid. Nawal merupakan penulis, novelis, dokter, bahkan psikiatris; yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan masyarakat tertindas yang dibungkam oleh rezim, lewat karya-karyanya. Semua hal itu menjadi gagasan eksplisit yang merembesi tulisannya.
Sejak masih berusia 13 tahun, atau tepatnya di kisaran tahun 1944, Nawal sudah mulai menulis. Baru ketika di usia ke-26 atau tepatnya tahun 1957, Nawal menerbitkan buku pertama yang merupakan antologi cerita pendek berjudul I Learned Love. Disusul pada satu tahun berikutnya, Nawal menulis novel yang berjudul Memoirs of a Woman Doctor.
Saat mencecap sekolah dasar di sekolah misionaris Inggris, Nawal belajar kesusastraan Inggris dengan melahap karya-karya Jane Austen, Charlotte Brontë, dan Emily Brontë. Nawal membaca bahasa Arab dan Inggris lewat sastra dalam waktu bersamaan saat itu. Meskipun demikian, Nawal juga terinspirasi oleh banyak penulis Arab, yang di antaranya adalah Taha Hussein.
Kendati demikian, ketika masa kanak Nawal justru tak pernah bermimpi menjadi penulis. “Apa yang mendorong saya untuk menulis? Sejak kecil impian saya adalah menjadi penari. Untuk mengungkapkan perasaan saya dalam tarian. Saya senang melihat penari tampil. Kemudian, saya ingin menjadi seorang musisi, untuk mengekspresikan diri saya di atas piano. Namun, menari tidak mungkin, begitu pula piano, karena kami saat itu begitu miskin,” urai Nawal dalam wawancaranya dengan Hans Ulrich Obrist di Jurnal E-Flux edisi 42 pada 25 Juli 2011.
“Yang benar-benar mendorong saya untuk menulis adalah ketidakpuasan saya dengan lingkungan yang saya hidupi. Saya marah dengan masyarakat. Sebagai seorang gadis, saya merasa ada sesuatu yang salah di dunia sekitar saya, di keluarga saya, di sekolah, di jalanan. Saya juga merasa ada yang salah dengan cara masyarakat memperlakukan saya. Jadi saya dapat memberitahu Anda menulis berasal dari ketidakpuasan, dari kemarahan,” imbuh Nawal.
Corak penceritaan Nawal dalam menulis kerap membangkitkan emosi pembaca dengan bahasa emotif. Nawal selalu menyusun satire dan sarkasme yang tajam dalam menggambarkan realitas sosial-politik. Jauh dari tradisi kesusastraan Arab yang saat itu masih didominasi kredo artistik al-fanna al-kamil, yang selalu memuja ketakjuban serta keindahan. Dari sini, kita bisa mengetahui jika Nawal adalah anak haram kesusastraan yang datang dengan magasin pepat dengan elan pembangkangan. Entah terhadap dominasi patriarkis maupun kesewenang-wenangan.
Nawal begitu terinspirasi akan Al-Ayyam—atau The Days—di mana itu merupakan otobiografi Taha Hussein. Nawal begitu takjub akan buku itu yang menceritakan tentang kehidupan Taha Hussein di Mesir sebagai anak yang miskin, dan bagaimana dia menjadi buta ketika ibunya menaruh sesuatu yang salah di matanya, serta bagaimana dia dididik. Itu salah satu maha karya yang ditulis dalam bahasa Arab, yang begitu mempengaruhi kepenulisan Nawal.
“Saya tidak terlalu terinspirasi oleh Naguib Mahfouz. Dia tidak cukup revolusioner. Dia adalah penulis elit. Taha Hussein adalah seorang revolusioner. Tapi Naguib Mahfouz adalah sosok yang begitu pro-Mubarak, pro-Sadat,” tegas Nawal menyebut Taha Hussein dibanding Naguib Mahfouz yang begitu dipuja dalam kesusastraan Arab. Sedangkan jika mesti menyebut penulis perempuan, Nawal menaruh nama-nama seperti May Ziade, Aisha Tamour, dan Koakab Nasr, pada almari referensinya.
Novel Woman at Point Zero (1975) atau Perempuan di Titik Nol tak ayal menjadi jari tengah Nawal bagi budaya patriarkis di Arab. Belum lagi karyanya yang lain yakni Zeina (2009). Novel itu Nawal tulis ketika dia tinggal di Shubra, yang merupakan distrik masyarakat miskin. Di sana Nawal sering bertemu anak laki-laki dan perempuan tunawisma yang tidur di jalanan. Salah satu dari mereka adalah anak perempuan bernama Zeina,. Melalui anak-anak kecil itulah Nawal seakan meramalkan revolusi yang akan tiba di Mesir kelak.
Lantaran karya-karyanya, pada 6 September 1981, Nawal dijebloskan ke dalam penjara Barrages di Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan perbuatan kriminal melawan pemerintahan lewat kritik kebijakannya. Meski demikian, di penjara Nawal masih menemukan cara untuk melawan penindasan terhadap perempuan. Dia membentuk Asosiasi Solidaritas Wanita Arab (Arab Women’s Solidarity Association) yang merupakan kelompok feminis independen pertama di Mesir.
Mendekam di bilik penjara, Nawal sama sekali tidak diberi pena dan kertas. Namun itu sama sekali tidak menghentikannya untuk terus menulis. Dia menggunakan pensil alis hitam dan gulungan kecil tisu toilet tua untuk menuliskan pemikirannya. Nawal kemudian dibebaskan akhir tahun itu, satu bulan setelah pembunuhan Sadat. Tentang pengalamannya menulis di penjara itu, Nawal berkata bahwa “bahaya telah menjadi bagian dari hidup saya sejak saya mengambil pena dan menulis.”
Nawal adalah salah satu wanita yang ditahan di penjara perempuan Qanatir. Penahanannya menjadi bahan bakar untuk memoar yang dia tulis, yakni Memoirs from the Women’s Prison (1984). Kontaknya dengan seorang tahanan di Qanatir, sembilan tahun sebelum dia dipenjara di sana, menjadi inspirasi untuk karya sebelumnya, yakni sebuah novel berjudul Woman at Point Zero yang telah disebutkan sebelumnya.
Nawal tak hanya menulis cerpen, novel, esai, atau bahkan memoar. Nawal juga menulis dua naskah drama, yakni Isis dan God Resigns di Summit Meeting, yang kemudian mendatangkan petaka baginya. Lantaran dua drama itu, polisi mendatangi penerbit dan menyuruhnya membakar naskah itu. Rezim Mubarak merasa God Resigns adalah naskah yang berbahaya karena bisa membuka pikiran masyarakat. “Untuk menjadi seorang diktator dan mengontrol orang, Anda harus menutupi pikiran mereka. Peran kami, sebagai penulis, adalah mengungkapnya. Jadi mereka membakar buku itu,” kenang Nawal.
Atas bibliografi karya dan juga kepenulisannya yang menjadi inspirasi bagi para perempuan di dunia untuk melawan ketertindasan, Nawal dianugerahi gelar kehormatan di tiga benua. Pada tahun 2004, ia diganjar North-South Prize dari Dewan Eropa. Pada tahun 2005, ia memenangkan Penghargaan Internasional Inana di Belgia. Dan pada tahun 2012, Biro Perdamaian Internasional menganugerahinya Penghargaan Perdamaian Seán MacBride. Selain itu, masih ada rentetan penghargaan lain bagi Nawal atas ganjaran dari apa yang sudah dia tulis dan perjuangkan.
Legasi Nawal tak hanya menginspirasi gerakan perempuan atau di ranah kesusasteraan saja. Napas perjuangan Nawal diamplifikasi juga di tataran musik oleh nama-nama seperti penyanyi RnB soprano empat oktaf Ariana Grande, peniup terompet jazz Dave Douglas, hingga band punk-rock Bratmobile.
Dalam berbagai wawancara, Ariana Grande mengaku terinspirasi oleh semangat perjuangan dan karya-karya Nawal. Hal itu kontan ia buktikan ketika merilis album ketiga Dangerous Woman, yang menurutnya judul album itu terinspirasi dari karakter utama di Woman at Point Zero. Yang tak kalah menarik adalah bagaimana Allison Wolfe vokalis dari Bratmobile, mengaku bahwa Nawal cukup krusial dalam magasin gagasan serta kerja artistik yang dia garap. Bratmobile sendiri merupakan band punk-rock asal Olympia, Amerika, yang menjadi generasi pertama gerakan riot grrrl bersama dengan band feminist-punk lain. Sampai di titik ini, Nawal punya posisi yang tak kalah penting seperti Aretha Franklin, Nina Simone, Billie Holiday, dkk.
Dengan stempel anak haram kesusastraan dan sosok yang dipersona-non-grata oleh kekuasaan, semua itu direngkuh Nawal tanpa ada penyesalan. Bertahun-tahun menjadi eksil dan menjadikan tulisan sebagai armamen perang, sudah cukup bagi Nawal untuk meninggalkan legasi yang bakal diteruskan oleh sederet penulis perempuan lain yang menolak ditundukkan rezim. Hidup hanya sekali, dan tak pernah ada jalan pulang. Kini waktunya memberikan tongkat estafet pada penulis perempuan lainnya. Istirahat dengan tenang, Nawal.
*tulisan ini pertama kali terbit di Haluan pada 2020