Foto: Lamunai Records
“A militant poet is one who breathes militancy and who spells struggle in every blot of ink, or in every tap of the keyboard.” —Future Collective, Notes on Militant Poetics
Membaca manifesto sekaligus pengantar debut #1: Ensemble Instrumental de Musique Contemporaine milik Future Collective, mengingatkan saya pada sederet anak haram kesusasteraan. Mulai dari sastrawan LEKRA yang diasingkan ke Buru, pentolan Boemipoetra, The Angry Young Men di Inggris, hingga gerbong Infrarealismo di Meksiko. Semuanya begitu lekat dengan apa yang Future Collective tulis di manifestonya: tentang bagaimana menjadi penyair militan dan berkarib dengan ajal.
Roberto Bolaño menemukan kenyataan pahit ketika kembali ke Meksiko pada 1990-an setelah melewati tahun-tahun pelarian. Saat Bolano berkunjung ke rumah Mario Santiago Papasquiaro, rumah sahabatnya itu sudah tidak berpenghuni bahkan nyaris rubuh. Setelah bertanya pada pemuda setempat, Bolaño mendapati kabar bahwa Mario Santiago telah hilang sejak beberapa tahun lalu. Bahkan salah satu dari mereka berkata bahwa Mario Santiago sakit parah dan hidup sebagai gelandangan di senjakal usianya.
Mario Santiago Papasquiaro merupakan pelopor dan dianggap sebagai penjaga pintu terakhir estetika gerakan puisi Infrarealismo sejak 1976. Lantas Bolaño kemudian menjadi bagian juga dari gerakan puisi yang menjadi jari tengah bagi estetika peraih nobel kesusasteraan 1991, yakni Octavio Paz.
Repertoar serupa tersirat di debut album Future Collective. Saya berkesempatan mewawancarai Tida Wilson dari Future Collective untuk membahas kerja artistik mereka, gagasan yang dipancang di setiap karya, futurisme, sampai manifesto penyair militan itu sendiri.
Menurut kalian, berkesenian itu apa harus membangun tembok tertutup dari dunia politik atau bagaimana? Yang paling ideal bagi seniman dalam berpolitik itu seperti apa?
Kami dari awal memang tidak pernah menganggap kalau seni dan politik itu sebagai dikotomi, elemen terpisah yang sama sekali tidak mempunyai keterhubungan satu sama lain. Bagi kami, tidak ada sekat atau tembok imajiner yang memilah keduanya. Asumsi semacam ini adalah warisan zaman Romantik, dan kami dengan sadar menolaknya. Seni—atau kegiatan seni—bagi kami adalah juga sebuah keputusan politis, yang dimana segala macam intrik realita dan kehidupan diperbolehkan tampil dalam wajahnya yang paling vulgar. Ia selalu menyangkut disrupsi dalam kehidupan riil manusia, keterangbenderangan terhadap kehendak atas kebenaran dan komitmen terhadap zaman. Seniman mesti menyadari hal-hal ini terlebih dahulu sebelum ia berproses. Mengabaikannya sama saja dengan mengamini bentuk ‘kosmopolitanisme’ semata: seni universal yang cuma diperuntukkan untuk keindahan—atau dengan kata lain, seni dangkal yang tidak mampu mengkritik dirinya sendiri.
Perbedaan kentara hadir saat Future Collective pertama kali muncul, yang disusul oleh manifesto Notes on Militant Poetics-nya. Seorang Tida Wilson memberi warna tersendiri bagi personalitas Sawi Lieu sebelumnya—entah ketika di Eat Me!, New Wife Records dan Sangsaka Worship. Inikah proyek musik yang kalian buat dengan konten dan filosofi yang lebih politikal?
Bisa dibilang begitu. Karena seperti jawaban sebelumnya, kegiatan seni atau berkarya bagi kami adalah keputusan politis. Konten politis dan filosofis kami rasa sudah jadi hal yang sifatnya implisit dalam karya-karya kami. Berbeda dengan proyek-proyek masing-masing kami berdua sebelumnya, Future Collective adalah proyek yang paling impersonal, ia jauh lebih besar dari kami sebagai kelompok. Ia juga tidak pernah diniatkan sebagai unit musik belaka. Kami selalu menolak untuk terjebak dalam satu ‘badan’ yang membelenggu. Seberapapun itu terdengar tidak mungkin. Dari perbincangan dan diskusi awal kami dalam pembentukan embrio Future Collective pun, kami berdua sepakat bahwa Future Collective lebih ditujukan sebagai sebuah ‘kendaraan’ konseptual ketimbang unit bermusik, sebuah ‘vessel’ dimana ide bisa berkelana melampaui retorika ataupun kanal-kanal praksis yang konvensional dan kaku. Ia adalah sebuah kata kerja, bisa menjadi satu dan banyak hal lain.
Future Collective adalah arena colosseum di mana ideologi dan visi-visi estetis bisa berdialektika dan bersintesa, bukan hanya bagi kami yang terlibat di dalamnya jadi semacam bentuk perpanjangan tangan, tapi bagi siapa saja yang bersedia mengucap namanya. Ia adalah arena di mana para Spartacus di luar sana bisa menemukan kesadarannya dan mengubah realitanya sendiri-sendiri. Kemungkinan-kemungkinan politis semacam ini hanya satu bagian dari begitu banyak kemungkinan lain yang kami harap bisa terjadi dari Future Collective.
Konon “Hora Zero” adalah nomor yang didedikasikan bagi gerakan Hora Zero Movement, dengan kampanyenya: Rejecting the Elitists, bringing poetry to the Peruvian Public. Kalian seolah benar-benar menghadirkan sosok Jorge Pimentel, Juan Ramirez Ruiz, Tulio Mora hingga Roberto Bolano dalam lagu itu. Sejauh mana karya-karya sastra berpengaruh bagi pribadi kalian masing-masing atau bagi Future Collective dalam segi penggarapan musik?
Saya rasa pengaruhnya sangat banyak, sejauh sastra mengajarkan kami dalam memahami dan mengubah realita, di mana imej-imej yang tadinya terkesan amat terisolasi dan esoteris, berubah menjadi kesadaran yang bersifat kolektif.
Hora Zero adalah satu dari banyak contoh di mana seni bisa dibuat melampaui sihir imej tersebut. Mereka adalah produk dari zaman yang bergejolak akibat estetika Euro-sentris yang menjangkiti elit-elit dan rakyat Peru, yang juga adalah dampak dari dominasi hegemoni dan ekspansi kapitalisme ‘global’; saat diksi-diksi sastra Peru yang ‘integral’ dan cenderung viskeral a la Vallejo, digantikan dengan diksi-diksi pretensius yang banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis Eropa.
Tapi perlu diingatkan, hanya karena kami menjadikan mereka inspirasi bukan berarti kami berniat untuk menyamakan. Sama halnya dengan Hora Zero yang tidak berusaha menyamakan dirinya dengan Beat Generation atau grup Surrealis Eropa, seberapapun mereka terinspirasi darinya. Spesifitas perjuangan Hora Zero jelas berbeda dengan apa yang Future Collective lakukan sekarang. Pola dan strategi perjuangan kami pun berbeda.
Seperti Hora Zero, kami menolak elitisme, tapi kami juga menolak bentuk seni yang ‘pas-pasan’. Seni harus selalu menghendaki bentuk estetis tertinggi dan sekaligus mengandung keberpihakkan yang eksplisit. Seni yang cuma dibuat untuk sekedar ‘mencocokkan’ estetika masyarakat kelas bawah adalah bentuk fetisisme tersendiri bagi kami. Sama sekali tidak relevan dengan kondisi dan situasi riil kami.
Berbeda dengan para penyair Hora Zero yang tumbuh besar di provinsi atau lingkungan ghetto Lima, kami adalah individu-individu yang terlahir dan tumbuh dalam privilese dan ilusi-ilusi ‘kelas menengah’ perkotaan Jakarta pasca-modern, dan yang tergugah untuk kritis terhadapnya. Kami adalah generasi baru—‘anak haram’ dari kapitalisme modern dan globalisme. Kami mengakui itu, dan tidak pernah menangkalnya. Bentuk penindasan dan alienasi yang kami alami setiap harinya pun juga bisa dipastikan berbeda. Maka dari itu, apabila realisme-sosial masih bekerja dalam proses berkarya, bahasa yang familiar bagi kami adalah bahasa dan estetika ‘kelas menengah’ ini, atau yang disebut Jean-Jacques Lecercle, linguis Marxis asal Perancis, ‘bahasa imperialis’—bahasa sang penindas—bahasa yang kami coba subversi menjadi semacam kuda Troya yang memukul narasi yang dibawanya sendiri.
Di zaman yang serba tampak, di mana kebenaran seringkali dikooptasi menjadi kebohongan dan kebohongan seringkali diakui sebagai kebenaran, perversi adalah kata kunci bagi kami dan kecerdikan menjadi syarat. Tugas kami disini adalah menjadikan musik sebagai katarsis, sebagai bentuk solidaritas terhadap elan kaum tertindas, menciptakan ‘fasinasi’ dengan berperan sebagai yang-lain, bukan lagi-lagi menjadi vanguard yang menggiring kesadaran. Asumsi ‘publik yang butuh dicerdaskan’ itu kuno dan tidak realistis. Publik sekarang itu cukup cerdas, hanya saja mereka punya ‘selera’ dan—meminjam istilah Sartre—keyakinan yang buruk. Salah tempat, salah arah. Dan seperti apa yang dilakukan Mayakovsky et al., kami berniat untuk meludahi selera mereka, menjadi ‘kanker’ yang diam-diam menggerogoti kesadaran mereka. Karena publik bukannya tidak punya kesadaran, tapi mereka punya kesadarannya sendiri-sendiri; publik bukannya tidak tahu kebenaran, tapi mereka punya kebenarannya sendiri-sendiri. Dan kesetiaan terhadap kesadaran dan kebenaran yang keliru ini lah yang mesti ditandingi.
Perlu juga ditekankan kalau ‘publik’ yang dibicarakan berkali-kali oleh pentolan Hora Zero Pimentel dan Mora, karenanya, jelas berbeda dengan publik yang kami bicarakan disini. Publik yang mereka bicarakan tak punya akses internet, sedangkan kami punya; publik yang mereka bicarakan tak punya Starbucks, Zara, H&M, Instagram, 9GAG, YouTube dan Snapchat, sedangkan kami punya; publik yang mereka bicarakan tak punya seniman, musisi, selebriti, birokrat, politikus dan ‘intelektual’ majal nan oportunis di era media sosial yang gemar berkicau dan umbar sensasi demi mendompleng imej, sedangkan kami punya; publik yang mereka bicarakan punya junta militer, tapi mereka tak punya ‘tentara-tentara’ Khilafah yang mencanangkan pemurnian melalui doktrin dan propaganda anti-sekularisme dan anti-kemajuannya yang gencar, mulai dari suar-suar terkecil hingga yang paling besar; publik yang mereka bicarakan punya kader dan aparatus ideologis asuhan partai Tengah-Kiri seperti APRA yang membubarkan resital puisi ’subversif’ yang keluar dari estetika dan ideologi partai, sedangkan yang kami punya adalah ormas-ormas premanistik asuhan rezim dan korporasi yang sudah mengakar di kehidupan keseharian yang membungkam segala macam diskursus kritis dan memukul resistensi; publik yang mereka bicarakan punya Fujimori dan Grupo Colina-nya yang anti-komunis, sedangkan yang kami punya sekarang adalah kelas menengah—borjuasi baru yang memelihara fobia dan sentimen berlebih terhadap gerakan-gerakan sosial progresif dan alergi terhadap demonstrasi buruh yang katanya cuma bikin macet jalanan, dst.
Jadi tantangannya bagi kami dan bagi siapapun yang memang peduli sekarang adalah, bagaimana musik bisa membuat kesadaran dan kebenaran yang kami punya menjadi jauh lebih ‘menarik’ dibanding mereka, menciptakan tandingan agar mereka bisa memilih dengan akal sehat, atau jika keadaan sebegitu buruk, bagaimana caranya agar mereka lebih dulu berani dan mau menghendaki kebenaran dan akal sehat? Sama sekali bukan tugas yang mudah bagi siapapun juga.
Konteks dan kontradiksi spesifik semacam ini lah yang turut memengaruhi pembentukan temperamen kami dalam berkarya.
Tapi seperti apa yang telah Bolaño katakan, gerakan Hora Zero memang tidak dapat dipungkiri telah memberikan fondasi bagi gerakan-gerakan lain yang tumbuh selanjutnya, tidak hanya bagi dunia sastra Amerika Latin, tapi juga bagi gerakan-gerakan progresif lain di luar itu.
Bagi Future Collective sendiri, ada begitu banyak hal yang bisa dipelajari dari Hora Zero, salah satunya adalah bagaimana akhirnya saya menyadari bahwa musik dan skena mempunyai relasi-kuasa spesifik dan area yang lebih luas dan intrusif dalam peperangan ideologis ketimbang sastra dan puisi yang cenderung bekerja di luar marjin.
Ada nomor lain kah di album Ensemble Instrumental de Musique Contemporaine yang menyimpan pesan subliminal atau cerita tersendiri serupa pada “A Distant Beach”?
Pesan saya rasa selalu ada. Hanya saja subtil dan bukan dalam bentuk petuah. Satu lagu kami dedikasikan untuk sang sineas terkemuka yang juga menjadi figur budaya-populer asal Perancis Jean-Luc Godard, yang karya-karyanya jadi favorit kami berdua. Lalu lagu yang berjudul “’Pataphysics” kami dedikasikan untuk penyair proto-Surrealis, Alfred Jarry, yang di mana pendekatan ‘patafisik’ nya sedikit banyak kami jadikan inspirasi dalam teknik pembuatan aransemen lagu. Nomor terakhir di album itu, “South Subversive Rhythm” menarik karena kami buat sebagai pop anthem yang menyerukan semangat anti-otoritarian, mengapropriasi pernyataan dari band punk asal Inggris, Crass: “The nature of your oppression is the aesthetic of our anger”. Selebihnya, pendengar bisa cari makna dan keterhubungannya sendiri-sendiri.
Dalam musik yang kalian garap, bagaimana pengaruh dari Kraftwerk, Neu! atau Tangerine Dream dengan segala armamen futurismenya?
Pengaruh musik krautrock dalam musik kami itu lebih dari sekedar teknik. Ia sangat memikat bagi kami bukan hanya karena karakter musiknya yang orisinil, tapi juga latar belakang historisnya. Berangkat dari puing-puing fasisme, modernisme yang bangkrut dan disorientasi budaya paska Perang Dunia Kedua, musisi-musisi krautrock seperti Neu!, Tangerine Dream, Popol Vuh, Can, Faust, dll adalah juga sekumpulan visioner yang bekerja bergotong royong untuk satu ideal dalam bentuk seni yang terpadu: musik Jerman total. Musik yang mereka formulasikan memberikan estetika baru dan pengaruh hebat yang melampaui zaman dan batasan geografisnya sendiri, melahirkan generasi-generasi penerusnya, mulai dari The Soundcarriers di Inggris sampai dengan Follakzoid, bentuk hibrida nya di Chile. Sensibilitas yang mereka para pelopor krautrock miliki maka dari itu tidak jauh berbeda dengan sensibilitas para Futuris, yang dengan gagah menyongsong masa depan dan sinisme terhadap apa yang ada di belakangnya.
Holger Czukay, pendiri Can, dalam satu wawancara berpendapat bahwa musik itu mempunyai keterikatan pada waktu, ia selalu mengandaikan sebuah ruang yang melampaui masa, tidak sepantasnya diperlakukan sebaliknya jadi semacam nostalgia belaka. Czukay menjadikan kontinuitas sebagai basis. Itu sebabnya repetisi dan ritme motorik baginya bukan malah mereduksi musiknya, tapi justru mengelevasinya ke tingkatan yang lebih transenden. Positivisme yang dimiliki musisi-musisi krautrock ini lah yang selalu kami dambakan dan ingin jadikan pelajaran: untuk kembali melihat masa depan sebagai sebuah potensialitas, bukan kenyataan distopis yang seolah-olah sudah pasti akan terjadi. Kami menolak sentimen nihilis semacam itu.
Bisa kalian ceritakan tentang pengalaman menjadi pembuka penampilan Neon Indian pada helatan Play Loud Session tempo lalu? Salah satu unit electro-pop yang album Psychic Chasms-nya KONON menjadi pengkultusan di beberapa media berhala hipster asing.
Saya pribadi sebelumnya belum pernah mendengar Neon Indian. Jadi saya tidak tahu menahu perihal musiknya, apalagi pengkultusannya di kalangan hipster. Dan sejujurnya, saya tidak begitu peduli soal itu.
Kami sempat berkenalan dan mengobrol sedikit dengan mereka di backstage seusai acara. Mereka pribadi yang menyenangkan dan ramah. Ramah dalam artian, mereka tidak ragu untuk sekedar berbasa-basi dengan kami, atau mendengar basa-basi dari penggemar mereka. Musik yang mereka tawarkan pun melodius dan sangat catchy. Banyak hook yang mudah diingat dan beat dance yang renyah di kuping. Formula paten dalam setiap rancangan musik pop. Rasanya tidak terlalu aneh kalau ada banyak orang yang menggandrungi mereka, rela menunggu hujan dan berdansa diatas becekan demi mendengar musik mereka. Apalagi jika sampai dikultuskan di media luar sana. Tidak aneh sama sekali.
Pengalaman dengan Neon Indian justru memaksa kami untuk kembali mengevaluasi potensi emansipatoris dari musik pop. Kami cenderung tidak setuju dengan asumsi kalau musik pop itu adalah musik kacangan dan menye-menye. Snobisme arus pinggir semacam ini menurut kami sangat kekanak-kanakan. Musik pop itu jelas bukan cuma musik yang remeh temeh. Musik pop itu signifikan justru karena ia mampu dan mau untuk membolehkan dirinya terbuka bagi khalayak banyak. Pop adalah anti-elitisme.
Dan musisi-musisi seperti Chumbawamba, The Style Council, Super Furry Animals, Manic Street Preachers, Stereolab, Thievery Corporation, atau bahkan ikon musik populer Afrika, Fela Kuti, sadar betul akan hal ini—mereka mampu membuat musik populer jadi berbahaya.
Kembali pada konsep retro-futurism 60an yang kalian usung dengan segala romantismenya. Seperti apa yang kalian utarakan: Future Collective adalah sebuah peringatan akan masa lalu—dan masa depan yang tak pernah terjadi. Jadi, seberapa besar pula pengaruh ingatan dan kenangan dalam musikalitas Future Collective?
Kami memperlakukan ingatan seperti halnya kami memperlakukan ratusan folder musik dan film dalam komputer kami. Ingatan, bagi kami adalah sebuah teater kecil yang membolehkan kami untuk memutar kenangan berkali-kali. Ingatan adalah sebuah potensi akan kemungkinan yang sudah dan yang belum terjadi. Perihal apakah musik kami itu ‘retro’ atau ‘futuris’ atau ‘retro-futuris’ itu bukan subyek yang ingin kami eksplorasi. Biarkan saja media dan kawan-kawan sekalian menerka-nerka. Yang terpenting bagi kami adalah bagaimana caranya ‘mengefektifkan’ ingatan melalui musik, salah satunya yaitu dengan membawa kesadaran zaman dalam prosesnya.
Bagaimana kalian memaknai “pembaharuan” dalam futurisme apabila dikaitkan dengan kancah musik elektronik Indonesia saat ini? Apakah secara total menentang segala bentuk estetika konservatif? Seperti apa yang Marinetti tulis pada Manifesto of Futurism.
Tidak juga. Marinetti, atau Futurisme, berpengaruh sejauh ia mengajarkan kepada kami mengenai sikap dan keberanian dalam merengkuh modernisme dan teknologi yang dibawanya sebagai konsekuensi zaman. Keterbukaan terhadap masa depan ini adalah model ‘pembaharuan’ yang kita anut. Futurisme yang kami gencarkan selalu mengacu pada sebuah sikap dan metode pendekatan, bukan sentimen teknokratik terhadap masa depan.
Perihal penghancuran atas segala apa-apa saja yang telah lewat a la Futuris ini problematis dan bukan tanpa implikasi. Kami cenderung lebih berhati-hati dan kritis di sini, karena histeria ikonoklastik semacam ini tidak bisa dipandang hanya dengan perspektif sempit, apalagi jika mesti direduksi menjadi soalan moral apakah benar atau salah, sebab ia berkelindan dengan konteks zamannya. Begitu juga halnya dengan Mao dan Revolusi Budaya-nya di Tiongkok yang kontroversial itu.
Kami tidak sepenuhnya menolak masa lalu karena kami juga percaya bahwa dalam setiap bentuk arkaik selalu terkandung pengandaian yang tak selesai. Ia adalah subjek perubahan. Dalam konteks bermusik, sikap kami adalah sikap yang sama dimiliki oleh musisi-musisi hip-hop dengan teknik sampling-nya—musik yang dibuat bekerja untuk bertransformasi melampaui zaman—bukan semata-mata bentuk nostalgia, atau pembangkitan representasi ‘aura’ dalam makna Benjaminian. Kualitas emansipatoris dari Futurisme ini lah yang selalu ingin kami angkat, bukan soal ganyang mengganyang masa lalu.
Marinetti dalam Manifesto Taktilisme-nya—semacam gerakan lanjutan dari Futurisme—mengemukakan kalau Futurisme, selain adalah bentuk glorifikasi terhadap inovasi, sensibilitas estetis terhadap mekanisasi, kecepatan, dst. adalah juga bentuk pengejawantahan atas kehidupan modern yang simultan. Pengglorifikasian terhadap kehidupan modern ini adalah gagasan yang hampir serupa dicanangkan oleh flaneur dan penyair modernis asal Perancis, Charles Baudelaire, minus sentimentalitas terhadap mesin dan perang. Tapi yang luput dari perhatian Marinetti di sini, kehidupan modern yang ia gembar-gemborkan itu sendiri tidak bisa terlepas dari asumsi-asumsi historis yang menjadi prasyaratnya, ia saling punya keterhubungan yang implisit dan tidak bisa diganggu gugat. Artinya, pemberangusan total atas masa lalu adalah sama juga pemberangusan atas modernisme itu sendiri. Kontra-produktif. Maka dari itu, kritik kami terhadap Futurisme bisa dibilang adalah kritik yang sepenuhnya mengacu pada materialisme-historis Marx.
Pembacaan yang teliti amat diperlukan untuk memahami aspek-aspek dan motif auxiliary dari Futurisme itu sendiri, agar bisa memilah mana yang bisa dijadikan teladan dan mana yang tidak. Dan kami rasa kami tidak dalam posisi yang cukup kredibel untuk menjelaskan itu semua di sini.
Adakah kalian setuju dengan segala sikap dalam Manifesto Futurisme yang diaplikasikan pada instrumen musik Intonarumori? Di mana seorang Luigi Russolo membuat konstruksi noise yang mengartikan konsepsi musik baru dengan suatu spektrum sewenang-wenang.
Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, hubungan kami dengan Futurisme bisa dibilang rumit. Tidak bisa ditentukan secara biner. Tentu, Russolo penting karena ia telah mendobrak batasan konvensional dalam bermusik, membuka ruang-ruang eksperimentasi baru dan kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dalam praktiknya. Ini jelas dibuktikan oleh komposer avant-garde seperti Karlheinz Stockhausen dan salah satu pionir musik elektronik di Inggris seperti Tristram Cary, yang sudah mulai bereksperimentasi dengan alat-alat elektronik jauh sebelum lokakarya BBC Radiophonic mulai dibentuk tahun 1958. Tapi kesewenang-wenangan ini juga menimbulkan masalah tersendiri, apalagi jika diterapkan dalam konteks sekarang. Kami lebih memilih untuk melihat musik dalam totalitasnya, bukan sekedar tarik-menarik antar dua ekstrim. Artinya, kami mengakui bilik-bilik eksperimentasi yang tersedia, tapi disaat yang bersamaan juga tetap berpegangan pada kaedah-kaedah formal dalam bermusik, contohnya seperti komposisi, aransemen, ketepatan melodi, harmoni, dst. Bukan sebagai semacam ‘dogma’, tapi sebagai titik berangkat menuju banyak kemungkinan.
Apabila pionir-pionir elektronik mengajarkan satu hal pada kami, itu adalah bahwa musik elektronik menekankan pada proses, bukan bentuk ideal elektronik yang saklek, apalagi cuma soal alat. Ia adalah sebuah konstruksi atas penciptaan-penciptaan yang baru melalui perangkat elektronik. Sesuatu yang juga sudah ikut dilakukan oleh musisi-musisi kontemporer dari band pop asal Inggris seperti Broadcast, produser dan musisi nu-jazz asal Polandia seperti Skalpel, atau unit hip-hop asal Amerika Serikat seperti Dalek. Karena hanya dengan pengandaian akan kemungkinan baru ini lah sintesa yang kami bicarakan di awal bisa tercipta.
Perkembangan musik elektronik mengawali gairahnya, saat penemuan organ elektrikal bernama Tellharmonium oleh Thaddeus Cahill pada 1897. Disusul dengan Trautonium, Hammond Novachord, Minimoog, generasi Synthesizer sampai Dial-Pad. Namun perkembangan sekaligus pemakaian instrumen-instrumen itu dalam musik elektronik memunculkan suatu permasalahan, yang datang dari para kritikus musik. Mereka menganggap perkembangan musik elektronik semakin memunculkan inklinasi akan “fetisisme materiil”. Lantas, bagaimana kalian menjawab tantangan tersebut?
Sejauh ini, kami merasa tidak pernah punya fetisisme terhadap instrumen atau jenis musik tertentu. Perlu diingatkan bahwa kami pun bahkan sebenarnya dari awal tidak pernah mengklaim musik kami sebagai musik ‘elektronik’, atau setidaknya, tidak dalam pengertiannya yang paling ketat. Hal-hal semacam ini tidak pernah menjadi kendala yang maha berat buat kami. Lagipula, kami bisa dibilang terlalu kere untuk punya fetisisme semacam itu, untuk bisa ‘mengejar’ teknologi sampai obsolet, atau bermain hobi antik dengan mengoleksi instrumen elektronik dari dekade-dekade silam. Karena kita akui saja, instrumen musik itu tidaklah murah, ia punya valuta nya sendiri.
Alat-alat bermusik kami sangat terbatas. Kami tidak punya instrumen dengan teknologi cutting-edge, semuanya serba seadanya: laptop, synthesizer, audio dan midi-controller. Itu set standar kami. Kalaupun ada yang lain, bisa dijamin itu pinjaman. Tapi kami tidak pernah menjadikan itu masalah. Justru di situlah tantangannya bagi kami dari awal terbentuk: bagaimana merealisasikan visi dengan apa yang ada? Bagaimana caranya agar metode elektronik yang inventif tetap bisa bekerja tanpa alat-alat elektronik yang memadai?
Instrumen musik itu alat. Ia dikonstitusikan dengan relasinya terhadap si pengguna alat, dalam hal ini musisi. Ia tidak bisa bekerja tanpa ada yang mengoperasikan. Sama seperti konsep ‘fetisisme komoditas’ Marx soal komoditas. Ia selalu dikonstitusikan oleh relasi-produksi tertentu. Keterbatasan dan dimensi ini lah yang mestinya disadari terlebih dulu oleh musisi-musisi elektronik agar terhindar dari fetisisme semacam ini, pandangan keliru di mana instrumen musik dianggap sebagai entitas yang tercerabut dari struktur hubungan sosial-produksinya dan lalu dipaksa melakukan keajaiban dengan sendirinya.
Suzanne Ciani pernah berkata bahwa ia memainkan alat musik elektronik sama seperti ia memainkan alat musik yang lazim seperti violin. Perbedaannya ada di pendekatan dan kemungkinannya yang bisa dicapai. Kami pun juga percaya akan hal itu.
Jadi, pertanyaannya bagi kami bukan alat atau instrumen bermusik mana yang bisa memberikan hasil yang sesuai dan lalu menentukan bagus-tidaknya sebuah karya. Ini sama saja dengan mempercayai bahwa kuas dan kanvas yang bagus bisa membuat mahakarya. Ini pandangan superstisius. Pertanyaan yang tepat terletak pada sejauh mana visi dan proses kreatif itu bisa menemukan bentuknya melalui uji coba-gagal sumber daya dalam segala keterbatasannya. Mengenali keterbatasan dan kegagalan, adalah tahap awal dari improvisasi dan/atau inovasi, dan inovasi adalah benih dari kemajuan. Inilah dialektikanya.
Apa latar belakang dan tujuan pembuatan Jurnal Construct yang kalian inisiasi?
Construct dimulai dari diskusi ringan tengah malam antara saya dan seorang penyair wanita muda asal Jakarta. Ia berdiri dan berangkat dari posisi yang cenderung antagonistik, kombinasi brutal dari rasa cinta dan kebencian, agresi dan komitmen, frustasi dan kejenuhan, alasan-alasan yang kurang lebih sama dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh Hora Zero di Peru, disiden-disiden Le Moulin di Taiwan, para begundal Infrarealis di Chile, atau bahkan enfant-terrible kesusastraan Indonesia seperti kolektif boemipoetra. Kami sampai pada kesimpulan bahwa kami pun harus mulai ikut menciptakan tandingan bagi status quo sastra Indonesia yang sekarang didominasi oleh sejumput sastrawan dan intelektual-intelektual elit bangkotan sisa-sisa Orde Baru, baik yang punya afiliasi dengan pemerintah ataupun tidak, dan penulis-penulis muda ‘alternatif’ yang terjebak di ke-alternatifannya, sehingga sekarang yang ada bukan lagi sastra borjuis era Gelanggang yang bernafaskan “Seni untuk seni” atau “Seni untuk keindahan”, tapi sastra dalam bentuk perversinya yang paling edan: “Seni untuk saya!”
Construct adalah soal penemuan kembali kesadaran, penentuan sikap politis, pendekatan kembali terhadap komitmen dan pengetatan kembali definisi. Ia adalah produk dari sekelompok pekerja upahan daerah perkotaan, pemuda-pemudi generasi milenial—atau apa yang sering disebut dengan nada peyoratif: generasi ‘mengambang’—yang tak punya momentum dalam sejarah dan yang berusaha merebutnya kembali. Ia adalah satu dari begitu banyak simpul perlawanan dan pemberontakan terhadap litani kesengsaraan status quo, dominasi kapital, dan hegemoni neoliberalisme dalam model-modelnya yang paling baru dan canggih.
Construct adalah sebuah estetika di mana seni kembali dibuat bekerja untuk menuturkan pernyataan-pernyataan politis, mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman empiris, memformulasikan sikap dan etika politik, serta menceritakan sebuah cerita. Ia mengonstruksi seni yang memfungsikan dirinya sebagai bahasa, dengan tujuan edukatif dan komunikatif, bukan seni yang sekedar menggunakan bahasa.
Construct juga berfungsi menjadi wadah bagi penulis-penulis muda Indonesia progresif di luar marjin yang tak gentar menulis dengan Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris—penulis ‘pengkhianat’ yang selalu ditanggapi dengan prasangka dan seringkali dipandang sebelah mata—bukan untuk terlihat keren dan kosmopolitan, tapi untuk mendobrak batasan-batasan linguistik dari seni itu sendiri, seperti hal nya patriot, penulis dan martir asal Filipina, Jose Rizal, yang tak gentar menulis menggunakan bahasa penjajahnya, Bahasa Spanyol; atau penulis Afro-Karibian anti-kolonialis asal kepulauan Martinik, Frantz Fanon, atau bahkan penyair Aimé Césaire yang menulis dalam bahasa Perancis, juga bahasa penjajahnya, demi satu tujuan, yaitu mensubversinya.
Construct adalah mimpi-mimpi emansipatoris Rimbaudian: suara-suara ‘Aku’ dalam segala singularitas dan potensi kolektifnya.
Kalau boleh tahu, sumber bacaan apa saja yang memang menjadi penyuplai krusial pada ide dan gagasan yang diterapkan pada Future Collective?
Terlalu banyak rasanya untuk disebutkan satu-persatu, dan area nya terlalu masif untuk dibahas di sini. Tapi rasanya aman berasumsi kalau suplai bacaan kami sebagian besar ada di spektrum yang lebih Kiri. Bukannya sudah jelas?
Kalian memanggil kembali mendiang Cumbu Sigil pada manifesto Notes on Militant Poetics. Bahkan Tida Wilson membuatkan blog penghormatan yang mempublikasikan beberapa tulisan beliau. Apa arti sosok Cumbu Sigil bagi kalian?
Jawabannya sederhana: Future Collective adalah embodimen dari dirinya, atau yang lebih jauh, ia adalah embodimen dari kita semua.
Siapapun berhak mengucapkan namanya, berhak menggunakan namanya, dan berhak menjadi dirinya.
Pertanyaan utopis: Jika kalian diberikan satu slot permintaan yang dapat terkabul, mimpi masa depan seperti apa yang ada di benak kalian yang ingin terwujud?
Masa depan yang terang benderang, di mana kemungkinan-kemungkinan akan sebuah model masyarakat yang terbebas dari berbagai macam bentuk penindasan bukan lagi menjadi hal yang tabu dan terlampau konyol untuk dibicarakan, dan terlampau utopis untuk dikehendaki; masa depan dimana ekspresi menemukan bentuknya yang paling hakiki—bukan dari pemujaan pasar—tapi dari semangat-semangat yang bersifat kolektif.
*wawancara ini pertama kali dipublikasi di Metaruang pada 2016