Yang Disemai di Makadam: Catatan atas Antologi Puisi Bunga Besi

Foto: Jeppyriviolin

Di parkiran museum opium Golden Triangle, saya membaca kembali draft Bunga Besi dari Tida Wilson yang telah dikirim dua pekan sebelumnya. Ketika membaca bagian puisi Gnoissienne No. 1-6, saya tahu bahwa petang menuju malam itu saya seakan menjadi segumpal karkas yang siap masuk di mesin giling. Entah menjadi bakso tusuk atau naget kemasan.

“Kaca mudah dipecahkan & senjata bisa diumumkan dari apa saja (?) / Kekerasan dilakukan tanpa melewati bahasa.” tulis Tida dalam Gnoissienne No. 1-6. “Anjing!” ketus saya kemudian.

Hari itu saya sedang bersama teman-teman hendak menyeberang ke Golden Triangle Special Economic Zone (GTSEZ) di wilayah Laos. Sebelum melewati kantor imigrasi Thailand dan menyeberangi Sungai Mekong, saya membaca ulang puisi-puisi Tida Wilson di Bunga Besi. Dan Gnoissienne No.1-6 langsung membeton di kepala saya.

Ada selusin alasan kenapa puisi itu kemudian menavigasi kemarahan saya saat berada di perbatasan Myanmar-Thailand-Laos. Pasalnya, hanya hitungan menit setelah itu, saya memasuki sebuah kota di mana ragam kekerasan tersembunyi di balik fasad bangunan megah yang memancarkan neon di sana-sini.

GTSEZ yang berada di teritori Laos adalah salah satu surga kejahatan lintas negara. Di tempat yang menjadi bank bawah tanah hasil kejahatan terbesar di dunia ini, ragam kejahatan bermuasal: perdagangan manusia ke pusat-pusat penipuan daring (scam center) hingga rumah bordil, arena pencucian uang dari berbagai bisnis gelap, surga opium, tanah suaka mafia, dan pasar yang menjual berbagai organ tubuh satwa liar.

Lucunya, sejak hari pertama saya menerima draft Bunga Besi melalui pesan WhatsApp, sebuah notifikasi muncul: “this document might be harmful for your device.” Harusnya dari situ saya sudah mawas, kalau Tida Wilson tidak sedang memotong setiap silabel seperti halnya memotong mentega kiloan ke setiap puisinya. Melainkan Tida sedang mencacah mata katana dan menaburnya di setiap halaman Bunga Besi.

***

Foto: jasonlieee 

Dari pengakuan Tida, Bunga Besi adalah kumpulan puisi yang ia tulis dalam rentang waktu satu dasawarsa. Tak banyak petunjuk awal tentang puisi-puisi yang Tida arsiteki di antologi itu. Dalam eksplanasi lebih lanjut, Bunga Besi berkisah tentang perjuangan dan kesenangan hidup sehari-hari seorang Tida.

Klise memang—layaknya penyair-penyair apkiran yang berharap puisinya terbit di surat kabar nasional setiap akhir pekan. Tapi bagi siapa pun yang sudah mengenal Tida Wilson lewat karya-karya musik atau kepenulisannya, tentu tak akan sesederhana itu.

Ada lumpur hisap ars poetica dari sejumlah tradisi puisi yang siap menelan balik pembaca puisi-puisi Tida di Bunga Besi. Ada potongan-potongan sekuens film maupun adegan di novel yang saling susup di dalamnya. Ada interteks dari estetika arsitektur atau bahkan estetika tembikar yang kemudian terselip di tipografi puisinya. Dan terbentang petak-petak referensi yang sudah dikaveling oleh berbagai entitas auditif dari musisi atau band-band favorit Tida.

Kata “Bunga Besi” sebenarnya bisa kita temukan di puisi Madah Angin yang Tida tulis di Bunga Besi. Dari pengakuan langsung Tida, frasa Bunga Besi berhasil meringkus dualitas atau jukstaposisi yang selama ini sesuai dengan pandangannya. Yang feminin dan maskulin, yang ringkih dan kuat, yang sakral dan profan, dsb. Semua perkara yang sungsang itu coba Tida rengkuh di Bunga Besi.

“Mirip dengan Baudelaire di Flowers of Evil/Fleurs du mal, misalnya, ketika dia mengontraskan keindahan dengan korupsi moral,” imbuh Tida. Ia menganggap bahwa “Flowers”-nya Baudelaire mewakili daya tarik dan keanggunan seni, alam, atau keindahan. Sementara bagian “Evil” menunjukkan sisi gelap dari pengalaman manusia.

“Eksplorasi ketegangan antara dua unsur ini—gagasan bahwa keindahan dan dosa, kebajikan dan dekadensi, dst—bisa hidup berdampingan, jadi semacam raison d’etre Bunga Besi.” tambahnya.

Salah satu hal yang masih saya simpan dengan baik di poket memori saya tentang Tida, adalah tradisi puisi dari para penyair infra-realis. Perkara itu saya ketahui dari wawancara saya dengan Tida yang mewakili Future Collective sewindu silam. Selain Roberto Bolaño, ada sosok Mario Santiago Papasquiaro yang jadi salah satu penyair infra-realis yang kepenyairannya juga memengaruhi Tida.

“Aku akui, awalnya, sebagian banyak inspirasi gaya puitikku itu berasal dari paparanku terhadap penyair-penyair infra-realis, terutama Mario Santiago Papasquiaro. Puisi-puisi Mario Santiago Papasquiaro punya karakteristik yang sangat khas—keotik, tapi juga sarat dengan kedalaman intelektual,” akui Tida.

Dari situ, kecurigaan saya pada Tida atas puisi-puisi “keotik”-nya tak hanya dilatari oleh perkara-perkara di medan pertukangan saja. Ada motif yang lebih jauh ketimbang sekadar bermain stilistika, disiplin metrum, menghitung jumlah grafem dalam medan fonem, atau menyusun sintaksis tertentu pada suatu bentang larik.

Meminjam pengakuan Ahmad Yulden Erwin soal kepenyairannya—penyair sekaligus kritikus sastra asal Lampung yang juga karib dengan kepenulisan puisi-puisi keotik—Tida memiliki kecenderungan untuk mematahkan struktur yang dianggap “tertib”, demi menghadirkan kekosongan yang menghardik kebisuan dalam satu komposisi puitik. Tentu saja kekosongan di sini tak sama dengan berbidang tanah lapang di mana Ciputra akan senang membangun kondominium dan pusat mal di sana.

Selain meminjam tradisi puisi infra-realis dari Mario Santiago Papasquiaro, rupanya Tida juga menggeret estetika kepenulisan Otomatis/Surrealis seperti Gherasim Luca, atau bahkan yang lebih kontemporer seperti Aase Berg dan John Kinsella. “Kesamaanku dengan penulis-penulis yang kusebut tadi, kurasa, kita mengamini atau tak segan dengan kekacauan,” timpalnya.

Sebenarnya Tida sudah mewanti-wanti pembacanya di puisi pembuka pada Bunga Besi yang berjudul Huruf-huruf Kayu: “Setiap pesan membawa limbah beracun / Puisi-obyek-puisi & lamunan.” Pertanyaannya kemudian jadi sederhana, limbah beracun mana yang ingin pembaca sesap dari Bunga Besi?

Selain temuan itu, ada formula lain yang menarik dari puisi-puisi Tida di Bunga Besi. Tak ada subjek “aku” yang secara persisten ditulis di puisi-puisinya. Hal itu bisa jadi memang berangkat dari formulasi yang dipancang Tida. Ia menghilangkan subjek “aku” untuk menghindari sentimentalitas yang berlebihan.

Tak ayal, sang “aku” pada puisi-puisi di Bunga Besi bisa menyaru sebagai baterai, asbak, seni, atau “nasib yang berjalan di tepian pisau” seperti dalam puisi Mengingatmu, Adalah Mengingat Sepi.

Di sini saya kembali teringat penjelasan Yulden mengenai subjek “aku” yang kerap absen dalam puisi-puisi surealis atau puisi-puisi imajis. Menurut Yulden, subjek “aku” dari kedua ars poetica itu memang tidak mati, tetapi telah secara serentak menerima kehadiran aku-aku yang lain, baik aku-pembaca atau aku-lirik, atau aku-objek sebagai “subjek-puitik”, untuk secara partisipatoris membuka dan sekaligus mencipta ruang estetik yang lain.

“Jeda di dalam teks puitik itu mungkin bukanlah sebuah ruang kosong yang alami, yang terberi, tetapi sebuah ilusi dari gerak materi dan pikiran yang dipilih oleh partisipan dalam medan komunikasinya,” tulis Yulden.

Yulden juga yakin bahwa subjek-puitik memang tidak mati di dalam ars poetica modern. Subjek-puitik itu bahkan terus hadir dari kini ke kini, bukan sebagai sebuah persona, tetapi sebagai latar yang retak, sebagai jeda dalam ruang puitik. Jika Yulden punya subjek-puitik “sekuntum serigala”, maka Tida juga punya “seni berjalan menghadap ke Selatan” dalam puisi Kuratorial Kekalahan dan “bola mata berwarna urin” di puisi Insomnia.

Persistensi Tida mengaburkan subjek-puitik di puisi-puisinya—selain enggan terlalu terjebak dalam sentimentalisme karena pengalaman lebih superior ketimbang penamaan—karena Tida menganggap subjek “aku” akan berseberangan dengan maksud dari Bunga Besi itu sendiri, yang menolak subjektivitas atau bentuk-bentuk identifikasi.

Berbicara enjambemen atau bahkan jeda dalam sebuah komposisi puitik, Bunga Besi menyimpan interupsi lain yang tak kalah brilian. Saya pun yakin bahwa penempatan-penempatan interupsi ini bukan tanpa sebab atau hanya ornamen estetis semata. Melainkan jadi bagian yang tak kalah penting dari komposisi puitik itu sendiri. Kita bisa menjumpainya semisal di puisi Gastroteks II dan Agamemnon.

Di puisi Gastroteks II, Tida menyisipkan “SKIP THIS AD>>”. Sedangkan dalam puisi Agamemnon, Tida menaruh kotak informasi khas bewara di laman pencarian lowongan kerja: DICARI / aforisme brilian / Marjin 2 inci / spasi 1,5 / Times New Roman.

Ketika menemukan keduanya, saya langsung teringat marwah skit dalam tradisi hip-hop. Interupsi yang Tida tulis dan skit dalam hip-hop, sama-sama menjadi semacam komedi sketsa sela yang jadi bagian tak terpisahkan dari cerita utuhnya.

Bukan tanpa sebab Big Pun menaruh skit percakapan dengan bandar narkoba di “Pakinamac Pt.II”. Atau Kendrick Lamar yang menyisipkan skit percakapan dengan orang tuanya di atas mobil van keluarga saat berkeliling Compton pada salah satu lagu di album good kid, m.A.A.d city. Apa yang dilakukan Tida dengan interupsi-interupsi di puisinya itu, kuat dugaan punya motif yang sama.

Saban tahun mengikuti kepenulisan Tida di Negasi Klausal, membaca beberapa puisinya yang ia publikasi di Topos, atau bahkan tulisan-tulisannya di Jurnal Construct, tetap tidak mudah untuk mengguar apa yang sebenarnya berupaya Tida sampaikan di Bunga Besi. Dalam level paling ekstrem, di mana saya menempatkan diri sebagai pembaca yang tak tahu menahu kepenulisan Tida sebelumnya, puisi-puisi Tida bahkan seperti puisi yang ditulis seorang pekerja kerah putih yang gemar mengoplos gulali dengan nitrogliserin di sela jam kantor.

Saya kemudian teringat kembali potongan lain dari wawancara saya dengan Tida. Di potongan lain wawancara itu, saya menanyakan soal Hora Zero (Zero Hour)—sebuah gerakan puisi di Peru yang menentang kanon-kanon puisi nasional. Sosok seperti Jorge Pimentel, Tulio Mora, dan beberapa penyair Lima lainnya menginisiasi gerakan puisi ini.

Dari Hora Zero, petunjuk lain kemudian muncul. “Saya rasa pengaruhnya [Hora Zero] sangat banyak, sejauh sastra mengajarkan kami dalam memahami dan mengubah realita, di mana imej-imej yang tadinya terkesan amat terisolasi dan esoteris, berubah menjadi kesadaran yang bersifat kolektif,” ungkap Tida dalam wawancara Future Collective saat itu.

Menurut Tida, Hora Zero adalah satu dari banyak epitome di mana seni bisa dibuat melampaui sihir imej itu sendiri. Bahkan lebih lanjut Tida menyebut bahwa Hora Zero adalah produk dari zaman yang bergejolak akibat estetika Euro-sentris yang menjangkiti elit-elit dan rakyat Peru, yang juga adalah dampak dari dominasi hegemoni dan ekspansi kapitalisme ‘global’.

Sulur-sulur referensi itu yang kemudian membuat puisi-puisi di Bunga Besi punya napas yang sama dengan tradisi puisi para penyair Hora Zero. Tida dan semua orang di Future Collective memang menolak disamakan dengan Hora Zero meski mereka turut menginspirasi. Namun elan menolak bentuk ‘elitisme’ dalam tradisi kepenyairan dan menolak juga bentuk seni yang dianggap ‘pas-pasan’, adalah kesamaan antara Hora Zero dengan Tida serta Future Collective. 

Bahkan hal itu kian diperkuat dalam pernyataan yang juga menjadi semacam manifesto dari semua orang di Future Collective: “Maka dari itu, apabila realisme-sosial masih bekerja dalam proses berkarya, bahasa yang familiar bagi kami adalah bahasa dan estetika ‘kelas menengah’ ini, atau yang disebut Jean-Jacques Lecercle, linguis Marxis asal Perancis, ‘bahasa imperialis’—bahasa sang penindas—bahasa yang kami coba subversi menjadi semacam kuda Troya yang memukul narasi yang dibawanya sendiri.”

Petunjuk lain dalam mengguar Bunga Besi yang datang dari Hora Zero, saya temukan lewat wawancara Hora Zero dengan sebuah jurnal prosa triwulanan asal Ontario bernama The-Ex Puritan, edisi 22 yang terbit pada musim panas 2013. Di dalam wawancara itu, Robert Swereda dari The Ex-Puritan menanyakan tentang dinamika kesusastraan Peru ketika Hora Zero muncul.

Tulio Mora menjawab pertanyaan Robert Swereda saat itu dengan penuh keyakinan. Menurut Tulio, yang mesti dipertanyakan pertama kali ke para penyair kanon Peru adalah subjek puitik itu sendiri. Perkara yang juga menyembul dalam sekujur antologi puisi Bunga Besi.

“Jika Anda mengikuti tradisi puisi Peru, Anda akan menemukan sebagian besar puisi lirik yang tidak pernah berani memasukkan ekspresi populer karena puisi dianggap “murni” dan “tercerahkan;” puisi adalah visi transenden yang menundukkan atau menyembunyikan pengalaman sehari-hari di bawah kolase simbolik,” jawab Tulio.

Masih dari wawancara dengan The-Ex Puritan, Tulio menekankan lebih lanjut soal konteks politik yang melatari lahirnya ars poetica dari Hora Zero. Salah dua konteks politik yang Tulio sebut adalah pembantaian Tlatelolco dan pemerintahan militeristik Velasco, selain perang Vietnam dan Mei ‘68.

Konteks politik yang nyaris mirip juga melatari lahirnya Bunga Besi dari Tida Wilson. Rezim militer Prabowo yang begitu zionist-darling sedang berada di tampuk kekuasaan. Berbagai kejahatan dari para pejabat publik dan taipan yang berkoalisi di balik meja, terang-terangan dilakukan. Kita juga bisa melihat bagaimana genosida terjadi di depan mata, dari Palestina hingga Papua.

Bentuk interupsi lain di antologi Bunga Besi yang mencuri perhatian saya, adalah kutipan monumental dari potongan wawancara penyair Perancis bernama Nathalie Quintaine. Tida menyisipkan potongan kalimat “I want poetry to be detonated like a bomb!” dari Nathalie yang terbit di Countercurrents pada Maret 2023 silam.

Jawaban itu muncul saat Nathalie ditanya tentang perkembangan karyanya selama satu dekade terakhir. Nathalie menjawab bahwa ia berupaya keras untuk menyeret jauh puisinya untuk keluar dari bentuk puisi umum. Ia mengutip Chaussure, bahwa ‘aku’ adalah entitas eksterior. Dorongan agar puisi bisa diledakkan seperti bom, menurut Nathalie, tentu saja secara simbolis. Ia juga membuka kemungkinan penafsiran bahwa ungkapannya itu lekat dengan kecenderungan Mallarme terhadap anarkisme puitik.

Bagi Nathalie, menulis puisi sama dengan menulis sesuatu secara ad hoc yang dapat beradaptasi dengan masa kini dengan sendirinya. Ia menjadi objek politik yang punya tujuan akhir untuk revolusi. Di bagian revolusi ini, tentu punya lanskap imperatif yang luas. Termasuk mengacu pada konsepsi revolusi keseharian dalam rutinitas terdekat kita seperti yang eksponen Situasionis pancangkan.

Meski demikian, Tida menampik bahwa alasan menyisipkan potongan pernyataan Nathalie itu punya motif yang serupa. Tida justru tak terlalu muluk. “Tapi aku mau mengantisipasi, kalau puisiku menimbulkan reaksi. Apapun itu. Sebagaimana orang bereaksi ketika ada bom meledak. Sekalipun reaksi tersebut artinya pembaca linglung dan terberak-berak,” kerkah Tida.

Foto: Medium Press

Ada gema genta kecil dari sebuah kuil di dalam memori saya. Perlahan saya mengingat kembali pertemuan dan korespondensi dengan Tida beberapa tahun ke belakang. Ketika masih bekerja sebagai buruh manufaktur dan menginisiasi sebuah media kolektif di Bandung circa 2016, saya mengundang Tida untuk mengisi materi diskusi buku Hikayat Tirai Besi dari Alexander Berkman terjemahan Zaky Yamani.

Momen krusial dalam linimasa korespondensi saya dengan Tida adalah di tahun 2017. Di tahun ketika Ridwan Kamil masih menjabat sebagai walikota Bandung dan membuat gelaran Seni Bandung pertama dengan tema “seni partisipatoris”, di waktu yang sama teman-teman di Bandung juga menginisiasi Festival Kampung Kota.

Tida adalah orang pertama yang menerima ajakan solidaritas untuk turut menulis kritik terhadap Seni Bandung. Hal itu tentu jadi bahan bakar tambahan bagi piston solidaritas kolektif saat itu. Meski Seni Bandung didompleng dan dilegitimasi para filsuf, begawan kebudayaan, dan akademisi seni rupa Bandung; namun kami beruntung punya tulisan Tida yang saat itu berhasil jadi sekarung tahi yang berserak di meja makan kontestasi Seni Bandung.

Linimasa ketiga tak kalah penting. Tida juga andil dalam zine benefit berisi antologi esai yang diinisiasi oleh Solidaritas Sosial Bandung ketika pandemi melanda. Pada hari-hari ketika ajal selalu mengintip dari balik pintu itu, Tida jadi salah satu penulis zine Otonomedia. Di mana semua hasil penjualan zine itu dialokasikan untuk kebutuhan solidaritas dapur umum di puluhan titik di Bandung.

Ketiga linimasa itu kembali membuktikan pengaruh tradisi kepenyairan Hora Zero atau bahkan infra-realis terhadap kepenyairan Tida. Imaji-imaji yang terkesan amat terisolasi dan esoteris dalam puisi-puisinya, justru malih rupa jadi sekam kesadaran yang bersifat kolektif.

Tida boleh saja mengaku kalau puisinya hanya curhatan keseharian, ditulis saat berak di pagi hari, racauan ketika patah hati, hasil bengong di danau dekat kantor saat lembur, atau ketakjuban pada sebuah kedai kopi di Jakarta Selatan. Tapi Tida lupa bahwa ada subjek-puitik yang ia tulis, juga bisa jadi bubuk mesiu di tangan orang lain.

Seperti halnya kecenderungan para penyair yang punya latar belakang atau bentang inspirasi dari produk kebudayaan lain. Yulden menulis seri puisi berlatar para seniman tembikar favoritnya. Triyanto Triwikromo menulis seri puisi berlatar karakter wayang. Sedangkan Tida menulis sejumlah puisi dengan latar band-band atau musisi favoritnya.

Dari Godflesh di Topografi Keruntuhan hingga Takeo Moriyama di Sprechgesang. Dari “Clearer” milik Blueboy, hingga “Orange Moon” dari Erykah Badu. Seperti halnya tradisi sampling dalam hip-hop, deretan latar musik di beberapa puisi Bunga Besi juga bukan tempelan semata. Potongan-potongan sample yang ditaruh pada satu komposisi hip-hop, bisa punya stori yang tak kalah krusial dari elemen lain. Entah judul lagu, lirik lagu, latar belakang si musisi, atau cerita maupun interteks di balik lagu itu.

Petunjuk itu bisa kita periksa semisal pada puisi 20 Menit di mana Tida menaruh latar “Symphony for Improvisers” dari musisi jazz Don Cherry. Awalnya saya cuman terpaku pada frasa atau larik ajaib semacam “surat kabar membeku”, atau “arwah-arwah merasuk menjadi entropi” di puisi itu. Tapi ketika mendengar langsung lagu yang jadi latar puisi itu, saya menemukan jawabannya. “Symphony for Improvisers” dari Don Cherry berdurasi sekitar 19 menit 44 detik. Nyaris 20 menit.

Begitu juga dengan presensi “Orange Moon” dari Erykah Badu di puisi Puitika Hasrat II. Jika kalian mengetahui elemen-elemen romantik di “Orange Moon” dan menautkannya ke setiap larik di Puitika Hasrat II, kalian akan melihat bagaimana seorang Tida ketika kasmaran dan menganggap semua penghuni lain di dunia—selain subjek “kamu”—adalah pencari suaka.

Seperti pengakuan langsung Tida, bahwa ia hanya butuh cinta sebagai tulang punggung Bunga Besi. “Aku cuma butuh 1 cerita, yaitu cinta. Cinta membawaku juga pada tragedi. Cinta membawaku pada kekecewaan. Memang selalu seperti itu. Entah itu terhadap hidup, seseorang, sesuatu, dan hal-hal remeh lainnya. Tanpa rasa cinta (yang bisa kubilang berlebih), kurasa aku tidak akan bersusah payah menulis apalagi membereskan Bunga Besi.”

Di antologi Bunga Besi, ada satu babakan khusus yang dibuka dengan deklarasi Cassius Song. Di bagian ini, ada sepuluh entri puisi. Beberapa di antaranya punya komposisi puitik dan teknik yang tak berbeda dengan puisi di babakan lain. Namun tunggu ketika kalian menuruni setiap dasar ngarai dari masing-masing puisi di babakan itu.

“Entri Cassius Song adalah “suara lain” atau heteronim dari diriku. Suara yang lebih berani untuk terlihat lumpuh, ketakutan, kehilangan arah, dan penuh pertanyaan. Kompleksitas diriku yang lain, kerapuhan diriku yang lain, yang mencari keutuhan di dalam identitasku sendiri yang terfragmentasi,” akui Tida di mana keberanian yang ia dapat untuk menulis babakan itu berasal dari Fernando Pessoa.

Perkara tipografi di semua puisi dalam analogi Bunga Besi, tak kalah menarik untuk disusuri. Periksa bagaimana Tida menyusun bentuk visual dari puisi-puisinya. Ia paham betul bahwa berbagai bentuk tipografi itu memberi ruang bagi pembaca untuk menggali makna yang lebih dalam, mengubah interpretasi, atau bahkan menciptakan makna baru.

Satu hal lain yang tercetak tebal di puisi-puisi Tida adalah raibnya rasionalitas. Bahkan tidak hanya di puisinya saja, bisa jadi mengular ke karya-karya atau kepenulisannya yang lain.

“Aku berani sebut, estetikaku Bataillean, dalam artian aku menentang dominasi pemikiran rasional dan logis kehidupan modern. Karena bagiku, pengalaman manusia yang sebenarnya tidak bisa sepenuhnya dijelaskan oleh pikiran rasional. Sebaliknya, pengalaman ekstrim seperti kekerasan, kegilaan, seksualitas, atau kematian—pengalaman-pengalaman yang sering dianggap tabu atau tidak rasional—adalah bagian dari aspek kehidupan yang lebih mendalam. Karnal,” tutup Tida.

***

Di antara jongko-jongko yang menjual aneka masakan mandarin dan suvenir dari mulai pisau stiletto hingga gantungan kunci hotel kapok, malam itu saya melihat banyak sekali orang-orang yang mengawasi kami. Mereka berasal dari banyak etnis dan kewarganegaraan: beberapa Kaukasian, ada dari India, sisanya orang kulit hitam yang mungkin datang dari Afrika. Beberapa dari mereka bahkan membuntuti kami ketika berjalan menyusuri pasar malam di GTSEZ.

Bermalam di salah satu hotel GTSEZ adalah pilihan terkonyol dalam hidup kami. Meski biaya sewa hotel dibayar oleh seorang biksu filantropi asal Malaysia yang berada dalam misi pemulangan korban perdagangan orang asal Malaysia, tetap saja malam itu adalah salah satu malam paling jahanam di hidup saya dan teman-teman.

Sepanjang malam kami tak bisa terpejam. Hanya bisa tidur ayam. Dari balik jendela kamar hotel, kami hanya bisa menatap Kings Romans Casino yang neon dan lasernya seolah jadi lulabi visual bagi kami. Dan sesekali pandangan kami terlempar ke gedung-gedung belasan lantai di sekitarnya. Tempat di mana para korban kerja paksa atau perdagangan orang lainnya dari seluruh dunia masih terjebak di sana.

Saya membuka kembali Bunga Besi sesaat sebelum terpejam. Jari saya berhenti bergulir di layar gawai pada bagian puisi (…) Adalah Akar yang Tumbuh Menjalar di Kedua Tangan. Berhenti tepat di larik “kuburan adalah museum memori”.

Ketika itu lapar mengetam dan kami sedang berada di daratan tanpa hukum. Siapa saja bisa dilubangi kepalanya kapan pun atau dilarung ke Sungai Mekong oleh kelompok mafia yang bermarkas di sana. Maut terasa begitu dekat saat itu. Bisa jadi hanya beberapa inci dari pintu kamar hotel kami. Tapi tentu saja kami tak mau mati di surga opium.

Bunga Besi akan selalu jadi pengingat momen-momen paling liminal dalam hidup saya sejak saat itu dan entah sampai kapan. Hidup dan mati, bangkit dan jatuh, kokoh dan rapuh. Entah kapan Tida akan memanen Bunga Besi lain dari kebun artistiknya.

Leave a Comment