Dua Kepala yang Menjala Maut: Catatan Perilisan Ulang Album Self-titled Ghaust


Dan aku paham, ketika memberiku musik menggairahkan pada upacara duka, sesungguhnya kau hendak mengatakan, tak perlu siapapun takut pada taring maut jika mereka tak pernah menganggap kehidupan sebagai berlian yang harus disimpan di almari besi tanpa kunci dan gembok sembarangan.

Dalam Hujan Hijau Friedenau, Triyanto

 

Blessed are the dead, for they teach us to live.

—GHAUST


Harapan dan keputusasaan barangkali tak merentang jarak sepenanakan nasi. Itu yang dirasakan belasan kru kapal ikan yang saya temui di beberapa waktu silam. Setiap hari, mereka menghidu maut di setiap inci tempat mereka bekerja: di tepi buritan, di pengapnya palka, hingga di kamar yang kerap menguarkan anyir ikan hasil tangkapan.

Pada momen itu, ada satu nomor yang saya dengar berulang bahkan sejak dari perjalanan berangkat liputan. “At Sea (We Are Nothing)” dari GHAUST melempung di ingatan saya, terlebih jika mengingat kembali momen selama liputan investigasi perbudakan anak buah kapal (ABK).

Saban malam nomor itu saya putar begitu intens. Jika  Yulden menyebut maut dalam puisinya adalah cahaya matahari yang berkilau lembut di mata seekor kelinci,maka di malam ketika saya menggarap investigasi itu, maut seperti sesuatu yang lebih dekat dan berjalan lindap di fasad penginapan tempat saya bertemu beberapa ABK.

Entah sejak kapan persisnya saya punya ketakutan terpendam soal laut. Padahal mengunjungi laut sejak kanak pun bisa dibilang kurang dari jumlah jari di sebelah tangan. Sebagai anak yang tumbuh di wilayah Kabupaten Bandung, tempat bermain yang barangkali lekat dengan air, praktis hanya sawah, irigasi dekat lapang bola kelurahan, dan pematang saat penghujan.

Laut memang terlihat tenang, tapi bagi saya, laut selalu mengancam. Itu yang membuat “At Sea (We Are Nothing)” seakan mempunyai selubung-selubung yang sama senyapnya dengan semua hal yang dialami para kru kapal ikan asing di lautan lepas.

Berjumput cerita penyiksaan selama berada di atas kapal, saya dengar langsung dari bekas kru kapal yang pernah bekerja untuk kapal ikan berbendera asing. Mulai dari penyiksaan oleh kapten kapal ketika bekerja, disekap bersama ikan tangkapan, hanya bisa makan terigu mentah berhari-hari, tak bisa menghubungi keluarga, bahkan tidak sedikit yang menderita sakit tertentu dan tak mendapat perawatan medis karena kapal enggan bersandar.

Yang paling membuat saya mual berhari-hari ketika menggarap liputan investigasi itu, tentu cerita dari ABK yang mesti melarung jenazah temannya sendiri di laut lepas. Sebab kematian mereka beragam: ada yang tidak mendapatkan perawatan medis ketika sakit, atau bahkan ada yang menerima kekerasan selama berada di atas kapal.

Seringkali dengan suara parau, ABK-ABK itu menceritakan mulai dari membungkus jasad temannya yang sudah meninggal ke plastik. Lalu kemudian dimasukkan ke dalam lemari pembeku. Lantas beberapa hari setelahnya, jasad teman mereka yang meninggal dibungkus peti kemas untuk kemudian dilarung di tengah laut lepas.

Pasca liputan investigasi perbudakan ABK itu dipublikasi, saya baru menyadari bahwa mental saya juga koyak. Mendengar cerita mereka tentang ingatan rumah atau kampung halaman, seperti sesuatu yang begitu jauh. Itu yang membuat saya mesti menemui konselor sesegera mungkin. Imbasnya memang tak main-main: saya selalu mimpi tenggelam, dada selalu sesak ketika bangun tidur, dan sering mual mendengar kata “rumah”.

Lagi-lagi “At Sea (We Are Nothing)” lah yang mengerek saya dari dasar sumur depresi pasca liputan investigasi saat itu. Tidak hanya satu nomor itu saja, kelima nomor lain di debut album GHAUST begitu terapeutik. Penawar mujarab dari semua miasma akibat trauma liputan dan duka yang mendalam.

***

Awal perkenalan saya dengan GHAUST, bisa dibilang berbarengan dengan muasal saya mengenal anarkisme dari gerilya fanzine yang kawan-kawan produksi di Bandung circa 2012. Seorang kawan saat itu meminjamkan CD S/T album GHAUST. “Ini lebih bagus dari Explosions in the Sky!” kelakarnya saat itu.

Ia tahu bahwa saat itu saya tengah menggandrungi Munaf Rayani dkk. Di tahun ketika baru lulus SMA dan masih gamang untuk lanjut kuliah atau bekerja, saya melahap rekomendasi debut album GHAUST itu. Jika memang pahala jariyah berlaku di dunia sampai kita sudah mangkat, saya berharap kawan saya itu mendapat ganjaran setimpal karena telah memperkenalkan saya pada album yang membuat hidup saya tak lagi sama, bahkan hingga sekarang.

Debut album GHAUST lahir di tahun yang sama ketika tirani orde baru akhirnya masuk liang kubur dan tiga terpidana mati Bom Bali 2022 dieksekusi. Sedari momen awal mendengar keseluruhan album, saya yakin bahwa Uri A. Putra (Uri) maupun  M. Edward (Edo), enggan apabila musik GHAUST ditaruh dalam salah satu toples musik tertentu. Apalagi jika harus menaruh stempel post-metal atau apapun itu yang terdengar karib bagi GHAUST. Saya jelas tak berani. Bagi saya, GHAUST seperti seorang anak yang senang bermain dan mengeksplorasi apapun di tapal batas.

Kendati demikian, menurut saya GHAUST punya satu titik berangkat yang bisa jadi pijakan awal dari semua bentuk eksplorasinya selama ini: yakni hardcore-punk. Jika lebih sabar lagi mengguar GHAUST, semuanya bakal mengerucut pada estetika japanese hardcore-punk. Kalian bisa taruh nama-nama seperti Gauze, G.I.S.M., hingga KLONNS di sini. Meski di luar toples ini, perbendaharaan metal berkabut dari Corrupted juga punya pengaruh penting bagi GHAUST.

Di salah satu wawancara GHAUST bersama Cactus Records pada 2009 silam, Uri menjelaskan bahwa mendengar hardcore-punk, post-rock, dan kemudian doom metal atau black metal, tidak begitu berpengaruh bagi GHAUST. Justru eksplorasi mereka paling besar dipengaruhi oleh Corrupted. Meskipun saya juga menemukan trah melodius GHAUST bisa saja berasal dari Tragedy atau bahkan From Ashes Rise.

Dalam wawancara itu, Uri juga menambahkan bahwa lagu-lagu GHAUST merupakan rentetan perjalanan emosi. Babakan yang Uri sebut “the heavier parts,” ia anggap memang menggambarkan kemarahan. Sedangkan babakan-babakan yang menurut Uri lebih banyak menaruh ambience, merupakan kebalikannya. Kita bisa menemukan formula yang Uri sebut di atas, bekerja di keenam materi yang terdapat di album S/T milik GHAUST.

Pada “Day After (Entering into Peace)” misalnya, nomor pembuka ini punya “the heavier parts” yang Uri maksud, sekaligus terselip pula halimun ambience di pertengahan lagu. Dari nomor ini, kita bisa menebak-nebak soal apa yang hendak Uri dan Edo sampaikan kepada apresian atau yang mendengar GHAUST.

Bagi saya, nomor pembuka dalam sebuah album punya peran krusial. Ia semacam anak kunci yang bisa membuka pada pintu-pintu lain di lagu selanjutnya. Dan saya yakin, Uri maupun Edo sadar soal ini. Entah nomor pembuka ini menceritakan akhir dari “petualangan kaotis” yang telah dilalui oleh Uri dan Edo selama ini, atau bahkan nomor pembuka ini justru merupakan babak awal dari segala keriuhan lain di depan(?).

Bergeser pada nomor kedua yakni “Sleep and Release” yang bergerak pelan dengan riff-riff melodious, meski sound gitar masih terdengar sesekali berat. Di nomor ini, kita bisa menemukan eksplorasi GHAUST yang meminjam katalog dari mulai Explosions in the Sky hingga Godspeed You! Black Emperor, dieksekusi dengan baik.

Bagi saya sendiri, keseluruhan nomor di album S/T GHAUST ini, memang sebuah serial reportase dari segala hal yang Uri dan Edo temukan di keseharian. Tidak terkecual bagi saya sendiri dari pengalaman auditif mendengar tiap lagu di album ini.

Ketika mendengar “Sleep and Release”  di momen sebelum terlelap, di kepala saya berkelebat pengalaman selama meliput imigran atau pencari suaka yang menyabung nyawa di kamp-kamp detensi Indonesia. Bagi saya, nomor ini mewakili “infinite hopeless” yang dirasakan oleh mereka yang tercerabut dari tanah kelahiran mereka sendiri. Ancaman perbudakan modern hingga kasus bunuh diri para imigran maupun pencari suaka di negara penampung, seakan begitu lekat dengan “Sleep and Release.”

Sama halnya dengan “Torchlight.” Ada pengalaman personal yang saya lalui bersama dengan nomor ketiga di debut album GHAUST ini. Pada penghujung 2017 ketika menginisiasi Festival Kampung Kota pertama bersama kawan-kawan dan warga di Dago Elos, Bandung, saya kerap memutar lagu ini saat subuh menjelang ketika menginap di Bale RW tempat kami mempersiapkan acara. Semacam soundtrack dari refleksi perjuangan warga kampung kota saat itu dalam melawan rezim gusur era Ridwan Kamil.

Lanjut pada komposisi paling agresif di album sekaligus tetap memiliki babakan melodius, yakni “Akasia.” Jika Deafheaven punya “Dream House” di album Sunbather, maka GHAUST punya track sarat mesiu bernama “Akasia.”

Saya sempat memakai “Akasia” sebagai alarm bangun tidur ketika masih bekerja di sebuah pabrik kertas di bilangan Cikarang. Selain itujika mengacu pada semua nomor di seld titled GHAUST yang merupakan serial reportase“Akasia” bisa jadi sebuah pengingat dari sederet konflik perampasan lahan yang terjadi di banyak titik di Indonesia. Entah karena untuk kepentingan industri ekstraktif atau atas nama pengembangan pariwisata.

Mendengar “Akasia” di hari ini seperti upaya kilas balik investigasi yang pernah saya garap bersama beberapa kawan dari media lain, tentang perampasan tanah desa di Yogyakarta untuk kepentingan bisnis keluarga keraton. Mulai dari pembangunan pariwisata air terbesar di Asia Tenggara hingga mall di tengah kota, yang dibangun di atas tanah desa, dengan dalih pemanfaatan tanah desa itu sendiri.

Sama halnya dengan “Akasia” dan komposisi agresifnya, nomor kelima di album yang berjudul “The Wolf and the Boar” juga punya enerji serupa. Di atas palet sound yang disetem seberat beban bayi yang baru lahir di Indonesia, yang mesti menanggung beban hutang negara ke IMF, “The Wolf and the Boar” bersuara tak kalah brutal dengan nomor lainnya.

Belum ada yang tahu secara pasti apakah “The Wolf and the Boar” berangkat referensi kesusasteraan yang dibaca Uri dan Edo, atau memang ada referensi lain. Namun nomor ini mengingatkan saya pada fabel legendaris Inggris era akhir 1890-an, tentang tiga babi hutan yang melawan serigala. Saya tidak tahu apakah anasir yang terdapat di “The Wolf and the Boar” berasal dari fabel legendaris itu atau bukan.

“At Sea (We Are Nothing)” didapuk sebagai penutup album. Kalian bisa dengan mudah mendapat momen ekstase dari lagu ini. Dengan komposisi yang tak memberi ruang sama sekali bagi repetisi yang membosankan, Uri dan Edo berhasil membuat sebuah nomor sempurna untuk penutup. Saya tidak perlu berlarat-larat lagi tentang pengalaman terkait mendengarkan lagu penutup ini. Yang jelas lagu ini tak ubahnya getah yang sudah melekat di ingatan saya.

***

Mari kita bayangkan seorang Edo tersenyum di surga. Ia masih menyimak kisah keluarga puritan di film The VVitch dan tetap mengulik part-snare di lagu “Yogyakarta” milik KLa Project. Pipinya kemudian memerah ditambah senyum tipis tersumbul dari wajahnya, ketika tahu kalau Uri menuliskan semacam kredo di blog arsip GHAUST sepeninggal Edo mangkat: blessed are the dead, for they teach us to live.

Uri mengaku kalau kalimat itu tak ada hubungannya sama sekali dengan gagasan di album S/T GHAUST. Uri menaruh kalimat itu di blog arsip GHAUST sebagai pengingat bagi dirinya sendiri. Pengingat dari apa yang bisa Uri pelajari dari memori pengalaman hidup bersama kawan-kawan yang sudah berpulang, dan apa yang kemudian bisa diaplikasikan dalam hidupnya.

Meski Uri menampik keterkaitan antara yang ia tulis di blog dengan album S/T GHAUST, saya justru merasakan hal sebaliknya. Album S/T GHAUST merupakan memento-mori atau pengingat maut dalam bentuk auditif. Ini yang membuat saya menduga ada simpul yang masih menghubungkan album S/T GHAUST dengan apa yang ditulis Uri.

Lebih lanjut Uri punya bertumpuk hal memorial yang ia lewati bersama mendiang Edo selama penggarapan album S/T GHAUST. Sewaktu Uri menjelaskan materi album pertama kali ke Edo di studio, ia masih belum familiar dan tidak ada gambaran sama sekali untuk musik GHAUST. Ditambah GHAUST sendiri bermain di wilayah abu-abu. “Jadi ia [Edo] tidak bisa patokin GHAUST berdiri di mana, dan puncaknya image musik instrumental yang kurang enak [seperti Vai, Satriani dkk.] haha,” kata Uri.

Menurut Uri, setelah itu jadi banyak pertanyaan muncul di kepala Edo. Yang menariknya, cara Edo membiasakan diri dan membuka pikiran untuk musik GHAUST cukup unik bagi Uri. Edo akan memainkan musik itu terus-menerus hingga kupingnya terbiasa. Sewaktu latihan untuk proses penggarapan album S/T, Edo bahkan pernah mengulang empat hingga lima kali komposisinya.

Seorang kawan di Bandung yang bersahabat baik dan pernah bekerja bersama dengan mendiang Edo, bercerita pada saya soal sosok penggebuk drum GHAUST itu. Selain menggandrungi The VVitch dan part-snare lagu milik KLa Project, kawan saya bersaksi kalau Edo sempat terpengaruh dan bahkan mengulik ghost-note. Selain itu, Edo dianggap cukup khatam soal referensi melodic-punk. Yang terakhir, ketika Edo menyebut Capital karya Marx sebagai komik belaka, juga tak kalah menggemaskan.

Maka ketika GHAUST ditinggal mangkat sosok family-man sekaligus pekerja keras seperti Edo, jelas seperti kehilangan separuh indera di tubuh.

Kini setelah satu setengah dekade pasca album S/T dari GHAUST pertama kali dirilis, napas album ini masih terasa panjang. Namun hati-hati, seringkali terminologi “napas panjang” dalam sebuah karya itu akan terasa begitu tragis dan tak lain sebuah jebakan. Terlebih jika melihat konteks sosial-politik ketika album ini lahir. Artinya jika napas album ini masih panjang selain soal capaian eksplorasi di medan pertukanganyakni di medan gagasanartinya kita tidak ke mana-mana. Rezim yang berkuasa masih sama.

Ketika balot-balot politik mulai dikeruk dari manapun di tahun buang hajat demokrasi. Ketika kasus kematian akibat kekerasan aparat masih jadi seonggok statistik. Ketika warga kampung kota dan masyarakat adat di banyak titik justru dikriminalisasi bahkan mesti meregang nyawa karena mempertahankan ruang hidupnya. Di saat itu pula album S/T dari GHAUST jadi pengingat bahwa ajal telah berkarib dengan kita setiap waktu.